Minggu, 06 Desember 2015

Bismillah…
Ku tulis beberapa kalimat tentang apa yang mas rasakan saat ini, ketika rindu yang terkadang tidak terbendung dan akhirnya meluap sebagai air mata kerinduan. Kerinduan akan kehadiran sosokmu yang telah mengisi ruang kosong di dalam hati ini.

Sekitar 1,5 tahun yang lalu, saat aku memilih untuk mengakhiri cintaku dengan seseorang yang saat itu menjadi pacarku yang kedua. Karena sudah tak sanggup lagi bersamanya, menuruti keinginannya yang muluk-muluk yang selalu berakhir dengan pertengkaran sengit. Saat itulah, aku teringat sosok pacar pertamaku yang dimana selalu menerima aku apa adanya, tidak pernah meminta hal yang muluk-muluk padaku, sungguh sebuah penyesalan yang teramat dalam, aku sudah menyiakan dia yang begitu tulus mencintaiku dan memilih untuk bersama orang lain. Sayangnya, dia sudah bersama yang lain, dan mungkin hubungan itu akan berlanjut ke pelaminan. Akhirnya, dalam penyesalan itu aku berdoa kepada Allah, agar dia bahagia bersama pacar barunya dan berharap aku berjumpa dengan seseorang yang lebih baik dari dia, menyayangiku apa adanya, dan tidak menyakitiku.
Selama 1,5 tahun itu, dua hati datang kepadaku, namun akhirnya mereka pergi dengan alasan yang sungguh mengecewakan. Namun, aku tetap berusaha tegar. Mungkin mereka berdua bukanlah yang terbaik untukku.
Alhamdulillah, aku beruntung diterima di Universitas Negeri Yogyakarta di jurusan Pendidikan IPA. Disini aku berjumpa dengan kawan-kawan baru yang sedikit demi sedikit menghapus luka lama dalam hati ini. Belum lagi saat aku diterima di bidang Jurnalistik HIMA IPA, aku merasa semakin banyak keluarga . Belum lagi, kabidku yang selalu menghiburku ketika aku merasakan kegalauan.
Awal tahun ajaran baru 2015/2016, saat TM pertama SIPMA 2015, aku berjumpa dengan adik-adik maba dari jurusan Pendidikan IPA dan tak kusangka salah satu diantara mereka telah membuatku jatuh hati. Hingga pada suatu malam, aku memberanikan diri mengirim pesan ke dia melalui social media. “Kulonuwun”, itulah kata pertama aku kirimkan ke dia, dan dia menjawab “monggo mas”. Dari hari ke hari aku sering balas membalas pesan ke dia. Hingga tanpa disadari tumbuh kemistri diantara kami berdua. Aku menyadari itu saat aku memberanikan diri berkata bahwa aku jatuh hati padanya, dan ternyata dia juga jatuh hati padaku. Mungkin inilah jawaban dari doaku selama ini.
Semenjak saat itu, hari hariku terasa berbeda, serasa ada sesuatu yang indah yang membakar semangatku. Adik tingkat yang berkaca mata itu, seakan menjadi sebuah objek yang harus aku temui setiap hari. Aku bahagia bila berjumpa dengannya, terlebih saat aku melihat tatapan dan senyumannya. Aku merasa nyaman bila ada di dekatnya.
Hingga pada suatu hari, aku bertanya padanya “kamu pasti anak pertama?” dia menjawab “iya mas, anak pertama dan terakhir” hatiku terperanjak mengetahui hal itu, aku teringat ibuku di rumah. Ibuku cuma satu, tapi selama ini, aku merasa kurang menyayangi ibuku, dalam hati ini “dek, kamu anak satu satunya yang sangat disayangi ayah ibumu, sedangkan aku punya ibu satu yang begitu menyayangi aku, tapi aku merasa kurang menyayangi ibuku” belum lagi ia pernah berkata “mas gak usah mikirin adek, mas harus bahagiain orang tua mas dulu, adek bisa mandiri, adek bisa jaga adek sendiri, mas harus selesaiin kuliah mas sampe sesuai dengan apa yang mas inginkan. Adek emang gak sempurna, tapi adek usahain apa yang adek bisa untuk membuat adek sempurna dimata mas. Mas harus janji sama adek.” Dari kata-kata itu, aku merasa jika dia sangat menyayangiku dan keluargaku dan juga menyayangi dirinya dan keluarganya. Aku takjub kepada Allah, betapa ia telah mempertemukanku dengan seorang yang telah mengubah duniaku, menyadarkan akan arti sebuah keluarga.    Adek tidak ingin kehilangan mas, dan mas tidak ingin kehilangan adek.
Meskipun aku tau, dia belum lama putus dari pacar lamanya. Namun aku berusaha untuk menerima kenyataan yang ada. Aku berusaha agar dia tidak tersakiti dan berusaha agar dia nyaman bersamaku. Tidak ingin aku mengukir kembali luka dalam hatinya. Aku yakin dek, adek gak akan menyakiti mas, adek gak akan membuat hati mas patah untuk kesekian kalinya. Meski aku belum tau kemana arah hidupku, tapi aku kan terus berdoa dan berusaha agar kita ditakdirkan untuk bersama.
Ku tulis ini sesuai apa yang aku rasakan sekarang, semoga kamu dapat mengambil hikmahnya. Semangat kuliah ya dek, semoga Allah selalu melindungi dan memberikan kelapangan rizki padamu dan ayah ibumu, dan semoga diberikan kelancaran, amin J


Yogyakarta, 7 Desember 2015

Selasa, 10 November 2015

Masa Kecil bersama Kereta Api

Hai, sobat Railfans?
                Perkenalkan, namaku Trian Anugrah, biasa dipanggil Tri, Yan, atau Trian. Lahir di kota Wates, kabupaten Kulon Progo, tanggal 22 Februari 1996. Alhamdulillah, saat ini saya berkuliah di sebuah universitas yang cukup ternama dan favorit di Yogyakarta. Yap, itu sedikit tentang diri saya.
                Langsung saja ke cerita, sebelum saya menyukai alat transportasi kereta api, saya takut apabila melihat kereta api melintas, seperti phobia gitu, hehe. Kira-kira waktu itu umur saya masih balita. Karena phobia itulah saat saya pulang dari pasar bersama ibu saya, saya selalu mengajak ibu saya cepat-cepat jalannya sewaktu menyebrangi perlintasan kereta api. PJL 683 Wates saat itu yang sering disebrangi sewaktu pulang dari pasar. Masih ingat juga waktu itu PJL 683 berada sekitar kurang lebih 40 meter ke timur dari lokasinya sekarang ini. Semula hanya ada 1 jalur rel yang berada di perlintasan tersebut karena saat itu lintas Kutoarjo – Yogyakarta masih single track. Setelah pembangunan double track, perlintasan digeser ke posisi saat ini dengan 4 jalur rel yang memotong perlintasan ini karena letaknya yang dekat dengan Stasiun Wates. Meski demikian, pondasi PJL 683 lawas masih bersisa dan bagian dari jalur perlintasan juga masih agak nampak.
                Kembali ke cerita, walaupun aku phobia, tetap saja ayah saya dulu masih suka iseng mengajak saya melihat kereta api yang melintas. Di sisi selatan alun-alun Wates dulu ayahku mengajakku karena lokasi Stasiun Wates tepat di selatan Alun-alun Wates. Ya, namanya phobia, tetap aja waktu itu aku takut melihat kereta lewat.
                Sekitar tahun 2000, menjadi tonggak sejarah dimulainya aku menyukai sarana transportasi kereta api (halah, bahasamu Yan, wkwkwk). Kala itu, ada saudara di Bandung yang akan menikah, dan ayah ibuku mengajakku naik kereta api. Udah pastilah takutnya gimana gitu. Waktu itu KA yang ditumpangi adalah KA Pasundan kalo tidak salah. Setelah KA Pasundan tiba, saya yang waktu itu masih balita hanya terdiam dengan jantung berdebar-debar melihat kereta melintas di depan saya. Begitu kereta api berhenti sempurna dan calon penumpang mulai memasuki kereta, ayah saya dengan sigap langsung menggendong saya masuk ke kereta dan langsung mendudukan saya di kursi kereta. Setelah itu, yeah!!! Phobia saya dengan kereta api sembuh seketika, hahahaha.
                KA Pasundan pun berangkat dan saya yang masih balita hanya tilang tilung melihat kiri kanan, melihat keluar jendela melihat pemandangan, melihat pedagang asongan yang lalu lalang menjajakan dagangannya, mulai dari makanan, minuman, mainan, bahkan tambalan panci. Dalam pikiran saya itu, “duh, naik kereta api ternyata enak banget ya?” Namun saat itu juga, saat sempat menangis saat KA Pasundan memasuki terowongan Ijo. Karena saat itu lampu di K3 tidak dinyalakan saat siang hari, jadi begitu masuk terowongan langsung gelap gulita deh, kan serem, hohoho.
                Setelah KA Pasundan tiba di daerah Ciawi yang nanjak dan belok-belok gitu. Aku takjub melihat keindahan bumi priangan timur. Keindahan itulah yang membuat saya suka dengan pemandangan di area Daop 2 Bandung.
                KA Pasundan tiba di Kiaracondong sudah malam waktu itu dan saat itu adalah pertama kalinya saya menginjakkan kaki saya di kota Bandung. Beberapa hari di Bandung, kami sekeluarga pulang dengan KA Pasundan juga.
                Setahun kemudian, aku mendapat kesempatan lagi untuk ke Bandung, karena ada saudara lagi yang hendak menikah, duh, rejekinya :’) Tapi untuk kesempatan ini, tidak menggunakan KA Pasundan, tapi menggunakan KA Kutojaya Selatan dari Kutoarjo. Jadi, saat itu harus naik bus dulu dari Wates ke Kutoarjo, turun di jalan provinsi dekat Stasiun Kutoarjo lalu berjalan kaki ke Stasiun Kutoarjo yang jaraknya hanya sekitar 100 m dari jalan provinsi. Masih ingat dalam pikiran saya, ketika duduk di ruang tunggu Stasiun Kutoarjo melihat rangkaian Feeder Purworejo masuk jalur 1 dari arah Purworejo dengan 2 kereta saja waktu itu, lalu 2 kereta itu langsung dirangkai ke rangkaian KA Kutojaya Selatan yang waktu itu masih di badug.
                Langsung saja ke cerita di perjalanan, ketika KA Kutojaya Selatan hendak masuk terowongan Ijo, genset kereta dihidupkan dan lampu di seluruh kereta menyala, sehingga saat masuk terowongan jadi nggak gelap deh, hihihi :v . Masih dengan suasana khas K3 saat itu, dimana asongan masih berlalu lalang dan ketakjuban saya dengan suasana indah bumi priangan timur.
                KA Kutojaya Selatan tiba di Kiaracondong sore hari setalah asar seingat saya. Setelah acara keluarga di Bandung selesai, kami pun pulang dengan KA Kutojaya Selatan juga, waktu perjalanan malam hari dan OTC membagikan bantal warna biru yang terdapat logo PT KA (logo Z) entah dulu gratis atau mbayar aku gak tau, yang penting dulu aku bisa bobog nyenyak, hehehe. Pagi hari sekitar pukul 4, aku dibangunkan oleh ibuku karena KA sudah tiba di Kutoarjo. Dengan mata masih mengantuk, aku dan orang tuaku berjalan keluar kereta menuju pintu keluar lalu menuju jalan provinsi menunggu bus menuju Wates. Selama perjalanan menuju pintu keluar , aku sesekali menoleh ke belakang melihat K3 milik KA Kutojaya Selatan yang saat itu masih berlivery merah biru khas Perumka.
                Setibanya di Wates, ayahku segera mengambil motor Astrea Star miliknya di tempat penitipan motor dekat terminal Wates. Status motor sekarang udah dijual. Dengan berboncengan dengan motor tersebut, kami pulang ke rumah. Saat hendak melewati PJL 683 Wates, berjumpa dengan rangkaian KA ekonomi melintas masuk Stasiun Wates, kalo tidak salah KA Bengawan.

                Sejak saat itu, aku belum pernah naik KA ke Bandung lagi, duh kangen :’)

Semangat si Sulung

Lokomotif CC 201 01R (CC 201 77 01R) dengan semangat melangsir rangkaian KA 101 Malioboro Ekspres, saking semangatnya, si lokomotif sampai ngebul :D (Taken : 30 Oktober 2015)

Sancaka Berangkat Tugu

Kereta Api Sancaka Sore berangkat dari jalur 4 peron utara Stasiun Yogyakarta ditarik lokomotif CC 204 04 (CC 204 03 04) (Taken : 30 Oktober 2015)

Si Sulung Dinas Langsir

Lokomotif CC 201 01R (CC 201 77 01R) sedang melakukan gerakan langsir di Stasiun Yogyakarta untuk melangsir rangkaian KA 101 Malioboro Ekspres dari jalur 5 peron utara ke sepur badug, setelah melangsir rangkaian KA 101, CC 201 77 01R dinas melangsir rangkaian KA Senja Utama Yogyakarta dari sepur badug ke jalur 5 peron utara Stasiun Yogyakarta (Taken : 30 Oktober 2015)