Hai, sobat Railfans?
Perkenalkan,
namaku Trian Anugrah, biasa dipanggil Tri, Yan, atau Trian. Lahir di kota
Wates, kabupaten Kulon Progo, tanggal 22 Februari 1996. Alhamdulillah, saat ini
saya berkuliah di sebuah universitas yang cukup ternama dan favorit di
Yogyakarta. Yap, itu sedikit tentang diri saya.
Langsung
saja ke cerita, sebelum saya menyukai alat transportasi kereta api, saya takut
apabila melihat kereta api melintas, seperti phobia gitu, hehe. Kira-kira waktu
itu umur saya masih balita. Karena phobia itulah saat saya pulang dari pasar
bersama ibu saya, saya selalu mengajak ibu saya cepat-cepat jalannya sewaktu
menyebrangi perlintasan kereta api. PJL 683 Wates saat itu yang sering
disebrangi sewaktu pulang dari pasar. Masih ingat juga waktu itu PJL 683 berada
sekitar kurang lebih 40 meter ke timur dari lokasinya sekarang ini. Semula
hanya ada 1 jalur rel yang berada di perlintasan tersebut karena saat itu
lintas Kutoarjo – Yogyakarta masih single track. Setelah pembangunan double
track, perlintasan digeser ke posisi saat ini dengan 4 jalur rel yang memotong
perlintasan ini karena letaknya yang dekat dengan Stasiun Wates. Meski
demikian, pondasi PJL 683 lawas masih bersisa dan bagian dari jalur perlintasan
juga masih agak nampak.
Kembali
ke cerita, walaupun aku phobia, tetap saja ayah saya dulu masih suka iseng
mengajak saya melihat kereta api yang melintas. Di sisi selatan alun-alun Wates
dulu ayahku mengajakku karena lokasi Stasiun Wates tepat di selatan Alun-alun
Wates. Ya, namanya phobia, tetap aja waktu itu aku takut melihat kereta lewat.
Sekitar
tahun 2000, menjadi tonggak sejarah dimulainya aku menyukai sarana transportasi
kereta api (halah, bahasamu Yan, wkwkwk). Kala itu, ada saudara di Bandung yang
akan menikah, dan ayah ibuku mengajakku naik kereta api. Udah pastilah takutnya
gimana gitu. Waktu itu KA yang ditumpangi adalah KA Pasundan kalo tidak salah.
Setelah KA Pasundan tiba, saya yang waktu itu masih balita hanya terdiam dengan
jantung berdebar-debar melihat kereta melintas di depan saya. Begitu kereta api
berhenti sempurna dan calon penumpang mulai memasuki kereta, ayah saya dengan sigap
langsung menggendong saya masuk ke kereta dan langsung mendudukan saya di kursi
kereta. Setelah itu, yeah!!! Phobia saya dengan kereta api sembuh seketika,
hahahaha.
KA
Pasundan pun berangkat dan saya yang masih balita hanya tilang tilung melihat
kiri kanan, melihat keluar jendela melihat pemandangan, melihat pedagang
asongan yang lalu lalang menjajakan dagangannya, mulai dari makanan, minuman,
mainan, bahkan tambalan panci. Dalam pikiran saya itu, “duh, naik kereta api
ternyata enak banget ya?” Namun saat itu juga, saat sempat menangis saat KA
Pasundan memasuki terowongan Ijo. Karena saat itu lampu di K3 tidak dinyalakan
saat siang hari, jadi begitu masuk terowongan langsung gelap gulita deh, kan
serem, hohoho.
Setelah
KA Pasundan tiba di daerah Ciawi yang nanjak dan belok-belok gitu. Aku takjub
melihat keindahan bumi priangan timur. Keindahan itulah yang membuat saya suka
dengan pemandangan di area Daop 2 Bandung.
KA
Pasundan tiba di Kiaracondong sudah malam waktu itu dan saat itu adalah pertama
kalinya saya menginjakkan kaki saya di kota Bandung. Beberapa hari di Bandung,
kami sekeluarga pulang dengan KA Pasundan juga.
Setahun
kemudian, aku mendapat kesempatan lagi untuk ke Bandung, karena ada saudara
lagi yang hendak menikah, duh, rejekinya :’) Tapi untuk kesempatan ini, tidak
menggunakan KA Pasundan, tapi menggunakan KA Kutojaya Selatan dari Kutoarjo. Jadi,
saat itu harus naik bus dulu dari Wates ke Kutoarjo, turun di jalan provinsi
dekat Stasiun Kutoarjo lalu berjalan kaki ke Stasiun Kutoarjo yang jaraknya
hanya sekitar 100 m dari jalan provinsi. Masih ingat dalam pikiran saya, ketika
duduk di ruang tunggu Stasiun Kutoarjo melihat rangkaian Feeder Purworejo masuk
jalur 1 dari arah Purworejo dengan 2 kereta saja waktu itu, lalu 2 kereta itu
langsung dirangkai ke rangkaian KA Kutojaya Selatan yang waktu itu masih di
badug.
Langsung
saja ke cerita di perjalanan, ketika KA Kutojaya Selatan hendak masuk
terowongan Ijo, genset kereta dihidupkan dan lampu di seluruh kereta menyala,
sehingga saat masuk terowongan jadi nggak gelap deh, hihihi :v . Masih dengan
suasana khas K3 saat itu, dimana asongan masih berlalu lalang dan ketakjuban
saya dengan suasana indah bumi priangan timur.
KA
Kutojaya Selatan tiba di Kiaracondong sore hari setalah asar seingat saya. Setelah
acara keluarga di Bandung selesai, kami pun pulang dengan KA Kutojaya Selatan
juga, waktu perjalanan malam hari dan OTC membagikan bantal warna biru yang
terdapat logo PT KA (logo Z) entah dulu gratis atau mbayar aku gak tau, yang
penting dulu aku bisa bobog nyenyak, hehehe. Pagi hari sekitar pukul 4, aku
dibangunkan oleh ibuku karena KA sudah tiba di Kutoarjo. Dengan mata masih
mengantuk, aku dan orang tuaku berjalan keluar kereta menuju pintu keluar lalu
menuju jalan provinsi menunggu bus menuju Wates. Selama perjalanan menuju pintu
keluar , aku sesekali menoleh ke belakang melihat K3 milik KA Kutojaya Selatan
yang saat itu masih berlivery merah biru khas Perumka.
Setibanya
di Wates, ayahku segera mengambil motor Astrea Star miliknya di tempat
penitipan motor dekat terminal Wates. Status motor sekarang udah dijual. Dengan
berboncengan dengan motor tersebut, kami pulang ke rumah. Saat hendak melewati
PJL 683 Wates, berjumpa dengan rangkaian KA ekonomi melintas masuk Stasiun
Wates, kalo tidak salah KA Bengawan.
Sejak
saat itu, aku belum pernah naik KA ke Bandung lagi, duh kangen :’)