Jumat, 19 Juli 2013

Cerpen : Sahabat Tak Terlupakan


SAHABAT TAK TERLUPAKAN


                Suara azan subuh dan suara kokok ayam membangunkan Nita. Dengan kondisi yang masih mengantuk, ia berjalan pelan menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Setelah itu, ia berjalan menuju kembali ke kamarnya. Diambilnya mukena dan sajadah yang terlipat rapi di dalam almari kamarnya dan segera ia mengenakan mukena tersebut dan menggelar sajadah menghadap kiblat. Kemudian, Nita menunaikan ibadah sholat subuh yang didahului dengan mengerjakan sholat sunah qobliyah subuh yang pahalanya lebih baik daripada dunia dan seisinya.
                Selesai sholat subuh, Nita menuju ke dapur mengambil nasi dan lauk-pauk untuk sarapan pagi. Lalu ia menuju ruang tamunya dan menyalakan televisi. Nita menikmati sarapan paginya sambil menonton acara berita pagi pada salah satu stasiun televisi.
                Saat acara berita tersebut memberitakan tentang seorang pelajar SMA bernama Anindya Kusumawati yang berhasil meraih juara 1 olimpiade matematika tingkat nasional, Nita berhenti menyantap sarapan paginya sejenak dan langsung terfokus pada berita yang sedang diberitakan dan betapa kagetnya ia bahwa yang sedang diberitakan adalah teman sekelas sewaktu masih duduk di bangku SD dulu.
                Setelah berita itu usai, Nita melanjutkan santap paginya. Setelah selesai sarapan, Nita tiduran sejenak di kursi panjang sofa ruang tamunya sambil mengingat masa-masa di SD dulu, saat masih dekat dengan Anindya. Nita dan Anindya sudah akrab sejak masih TK dan persahabatan mereka masih terus berlanjut di bangku SD. Mereka sering belajar bersama tiap usai pulang sekolah dan juga sering bermain sekolah. Anindya memang murid paling pintar di kelas saat itu, ia selalu meraih rangking 1, sedangkan Nita hanya dapat meraih rangking 2. Namun, kondisi ekonomi keluarga Nita lebih baik daripada kondisi ekonomi keluarga Anindya. Ayah Nita adalah seorang guru olahraga sedangkan ibunya adalah ibu rumah tangga, sedang kedua orang tua Anindya hanyalah seorang buruh tani. Walaupun demikian, Anindya tetap memiliki semangat belajar yang tinggi.
                Namun, ayah Nita dimutasi ke kota Jakarta saat Nita lulus SD, sehingga Nita dan keluarganya harus pindah ke Jakarta. Masih teringat dalam pikiran Nita saat ia datang ke rumah Anindya untuk pamit pindah ke Jakarta. Saat berangkat menuju Jakarta, Nita menyempatkan diri untuk mendatangi rumah Anindya yang hanya berdinding rotan. Waktu itu, Anindya sedang duduk di sebuah bangku kayu di depan rumahnya dan melihat Nita turun dari mobilnya dan berjalan ke rumahnya.
                “Anindya!” sapa Nita sambil berjalan menuju Anindya
                “Iya, ada apa, Nita?” balas Anindya sambil beranjak dari bangku
                “Bapak ibumu kemana?” Tanya Nita
                “Masih di sawah, lagi panen.” Jawab Anindya
                “Nin, maaf aku gak bisa memenuhi janjiku ke kamu kalau kita akan terus bersama sampai SMA nanti.” Kata Nita sambil mata mulai memerah tanda akan menangis
                “Lho, kenapa, Nit?” Tanya Anindya
                “Ayahku pindah kerja ke Jakarta dan aku sama keluargaku harus pindah ke sana, meninggalkan kakek nenekku dan juga kamu, maaf ya!” jawab Nita mulai menangis
                “Sebenarnya aku ingin kita bersama sampai SMA, tapi kalau memang kamu harus pindah, tidak mengapa asal kamu tidak ngelupain aku, Nit!” kata Anindya yang juga mulai menangis
                “Aku gak bakal ngelupain kamu kok, Nin. Aku gak bakal tega ngelupain sahabatku sendiri.” Kata Nita
                “Makasih ya, Nit!” kata Anindya
                “Sama-sama, Nin. Oh iya, aku pengen ngasih ini ke kamu, Nin.” Kata Nita sambil mengambil dua buah kalung bintang dari sakunya
                “Apa ini, Nit?” Tanya Anindya sambil menujuk kalung tersebut
                “Ini kalung persahabatan kita, ku harap kamu memakainya sampai kapan pun dan aku pun juga.” Kata Nita.
                Mereka berdua saling memakaikan kalung persahabatan itu. Nita memakaikan ke Anindya dan sebaliknya, Anindya memakaikan ke Nita. Kemudian mereka saling berpelukan dan tangis perpisahan mereka pecah di depan rumah Anindya.
                “Nit, jaga dirimu baik-baik disana ya! Aku bakal selalu merindukanmu, Nit.” Kata Anindya sambil menyeka air matanya.
                “Jaga dirimu baik-baik juga disini, Nin! Aku juga bekal selalu merindukanmu. Aku pamit ya, Nin! Assalamualaikum!” kata Nita pamit kepada Anindya.
                “Waalaikumsalam!” jawab Anindya.
                Nita kemudian berjalan menuju ke mobilnya. Saat akan masuk ke mobil, ia melihat ke arah Anindya yang masih menangis terdiam melihatnya lalu ia melambaikan tangan ke Anindya dan Anindya pun membalasnya. Sungguh itu adalah sebuah perpisahan yang mengharukan dan harus mereka jalani.
                Kurang lebih setengah jam Nita terhanyut dalam ingatannya itu dan ia tersadar saat ibunya menepuk kakinya, “Nita, malah ngelamun disini, cepet mandi sana keburu siang!” “Ahhh…. Ibu, ngagetin Nita aja, jam berapa ini, bu?” Tanya Nita pada ibunya dan ibunya menjawab, “Udah jam 5 lebih seperempat, cepetan mandi! Nanti terlambat lho.” “Siap bu, laksanakan!” jawab Nita sambil beranjak dari sofa dan langsung menuju kamar mandi sementara ibunya membereskan piring dan gelas yang dipakai Nita untuk sarapan.
                Hari itu, Nita sangatlah senang karena ia dapat melihat sahabat di kampungnya yang telah 5 tahun tidak ia jumpai walaupun hanya terbatas di layar televisi saja. Dalam hatinya ia merasa bangga punya sahabat yang berprestasi bahkan menjadi juara olimpiade matematika tingkat nasional. Tetapi dalam hatinya ia bertanya-tanya apakah Anindya masih ingat dengannya, namun ia tetap yakin kalau Anindya masih ingat dengannya.
                Sore harinya, Nita menonton acara talk show favoritnya. Kebetulan tamu yang undang dalam acara saat itu adalah Anindya dan betapa senangnya hati Nita melihat sahabatnya itu muncul di layar televisinya dengan berhijab. Nita dengan antusias menyimak tiap-tiap pembicaraan yang dilakukan oleh pembawa acara dan Anindya.
                “Bagaimana perasaan Anda saat tau bahwa Anda menjadi juara olimpiade matematika tingkat nasional?” Tanya pembawa acara.
                “Yang pasti senang dan gak nyangka juga, selain senang karena bisa menjadi juara olimpiade, saya bisa membanggakan kedua orang tua saya, sekolah saya, teman-teman saya, dan lingkungan sekitar tempat tinggal saya.” Jawab Anindya dengan wajah yang tampak ceria.
                “Apa yang selalu Anda lakukan supaya dapat meraih kesuksesan luar biasa seperti ini?” Tanya pembawa acara.
                “Hmm… yang pasti selalu berdoa dan juga berusaha, walaupun ada keterbatasan tapi jangan jadikan itu penghalang untuk menjadi sukses, dan juga seringlah berbakti pada orang tua supaya mereka senang dan meridhoi kebaikan untuk saya, karena ridho orang tua adalah ridho Allah.” Jawab Anindya.
                “Siapakah orang-orang yang selalu memberi dukungan kepada Anda supaya menjadi sukses seperti ini?” Tanya pembawa acara.
                “Yang pasti ayah dan ibu saya, bapak dan ibu guru di sekolah, sahabat-sahabatku semua tak terkecuali sahabatku yang sekarang ada di Jakarta dan sudah kurang lebih 5 tahun tidak ketemu, yang dulu sering ngehibur aku kalau aku sedang sedih, ngasih motivasi juga buat aku, Nita Kusumandari, aku kangen kamu, aku harap bisa cepet dapat kabar dari kamu.” Kata Anindya dengan mata yang mulai meneteskan air mata sambil menatap ke arah kamera yang sedang on.
                Nita yang melihat kejadian itu juga ikut menangis. Ia tau jika Anindya pasti akan selalu mengingatnya. Dalam hatinya, ia ingin sekali pulang kampung agar bisa bertemu dengan Anindya.
                Keesokan paginya, di hari minggu yang cerah. Ayah Nita sedang sibuk membaca koran di teras rumah dan ibu Nita keluar membawakan secangkir kopi pagi untuk ayah Nita, “Ini kopinya, silahkan diminum, pah!” kata ibu Nita sambil meletakkan kopi di meja samping kursi yang diduduki ayah Nita lalu ibu Nita duduk di kursi sebelah meja itu, “Iya, mama! Makasih ya! Tambah cantik deh mama.” Kata ayah Nita sambil mencolek pipi ibu Nita, “Ah, papa bisa aja deh, Nita kemana, pa?” Tanya ibu Nita, “Biasa, kan minggu pagi biasanya Nita lari pagi keliling komplek sini.” Jawab ayah Nita.
                Tak lama kemudian, muncul Nita dari balik gerbang rumahnya sambil mengelap keringatnya menggunakan handuk good morning, “Assalamualaikum, papa mama!” sapa Nita lalu bersalaman dan mencium tangan kedua orang tuanya itu, “Waalaikumsalam!” jawab kedua orang tua Nita, “Papa, Nita boleh ngomong sesuatu gak?” Tanya Nita kepada ayahnya, “Boleh, apa nak?” jawab ayahnya, “Kapan kita pulang kampung, pa? Udah 5 tahun kita gak pulang kampung, aku udah kangen sama kakek nenek, kangen Anindya juga.” Kata Nita kepada ayahnya, kemudian ayahnya tersenyum lalu berkata, “Kebetulan, nak, lebaran tahun ini kita akan pulang kampung, ayah akan membeli mobil buat mudik besok, ya maafkan ayah ibumu, nak, mobil ayah dulu dijual untuk membeli rumah ini!” “Tak apa papa, yang penting papa bisa beli mobil lagi, terus bisa pulang kampung deh.” Kata Nita dengan perasaan senang, “ya sudah, sarapan dulu sana! Mama udah bikinin kamu nasi goreng.” “Oke mama!”.
                Bulan puasa pun tiba dan menjelang hari raya idul fitri seperti biasa pasti ada musim mudik. H-2 lebaran, Nita sekeluarga mudik menggunakan mobil baru mereka. Nita sangatlah senang karena akhirnya ia bisa pulang kampung dan ia tidak sabar untuk bertemu lagi dengan Anindya. Namun sayangnya dalam perjalanan menuju Tasikmalaya mereka terkena macet yang cukup parah. Akibatnya, mereka tiba di Tasikmalaya pada H-1 lebaran pukul 11 malam dan Nita belum dapat bertemu dengan Anindya. Hanya sebuah suasana bahagia bertemu dengan kakek neneknya dan mendengar suara takbir yang menghiasi malam hari raya idul fitri yang ia temui setelah 5 tahun lamanya tidak menjamah kampung halamannya.
                Keesokan paginya, dengan mengenakan pakaian muslim yang serba baru, Nita dan keluarganya berangkat berjalan kaki menuju masjid bersama dengan warga-warga sekitar untuk melakukan ibadah sholat idul fitri.
                Setibanya di masjid, Nita melihat-lihat sekeliling berharap ia dapat segera melihat Anindya. Namun, ia belum dapat menemukannya. Selesai shalat idul fitri, Nita berusaha mencari Anindya lagi dan akhirnya ia melihat seseorang yang pernah ia lihat sebelumnya yang ia yakini sebagai Anindya hendak berjalan keluar komplek masjid lalu ia berjalan agak cepat mendekatinya. Kemudian, Nita menepuk pundak Anindya dan Anindya pun berbalik menghadapnya, “Anindya Kusumawati?”, “Iya, saya Anindya, ada apa?”, “Masih ingat aku? Aku Nita, Nita Kusumandari.”, “Nita? Ya Allah!” Nita dan Anindya langsung berpelukan sambil menangis bahagia karena akhirnya mereka dapat berjumpa lagi setelah 5 tahun berpisah dan selama itu mereka tidak pernah saling berkomunikasi. Mereka berdua telah menginjak masa remaja dan keduanya sama-sama rajin berhijab. Setelah mereka berpelukan, mereka saling mengucapkan “Minal Aidin Wal Faidzin” dan tak lupa Nita mengucapkan selamat kepada Anindya karena telah menjuarai olimpiade matematika tingkat nasional.
                Siang harinya, Nita sekeluarga bersilaturahmi ke rumah Anindya. Mereka saling bersalam-salaman dan saling memaafkan kepada keluarga Anindya.
                Sore harinya, Anindya mengajak Nita berjalan-jalan menyusuri sawah dekat rumahnya. Menikmati udara sore dan melihat pemandangan desa yang masih asri. Saat berjalan-jalan, tiba-tiba Anindya melepas kerudungnya dan memperlihat kalung bintang yang pernah diberikan Nita kepadanya.
                “Kau masih menyimpannya, Nin?” Tanya Nita.
                “Aku selalu menyimpan dan menggunakannya, inikan kalung persahabatan kita.” Kata Anindya.
                “Aku juga masih memakainya.” Kata Nita sambil melepas kerudungnya dan memperlihatkan kalung yang sama kepada Anindya.
                “Kalau aku melihat kalung ini, aku selalu ingat kamu, Nit, pas tadi pagi ketemu di masjid itu aku pangling, wajah kamu sudah tampak berbeda sedikit, maaf ya!” kata Anindya.
                “Nggak papa kok, Nin.” Kata Nita sambil tersenyum.
                “Walaupun kita terpisah, tapi kita tetap bersahabat, saling menyayangi, dan saling merindukan, sampai kapan pun, oke, Nita Kusumandari!” kata Anindya.
                “Oke, Anindya Kusumawati!” kata Nita.
Mereka kemudian saling menautkan jari kelingking mereka sebagai tanda persahabatan dan mereka berjanji akan selalu menjaga ikatan persahabatan mereka sampai kapan pun. Mereka saling bertukar nomor telepon agar tetap bisa saling berkomunikasi.
5 hari sudah Nita berada di kampung halamannya untuk merayakan lebaran sekaligus melepas rasa rindu dengan Anindya dan saatnya Nita harus pulang ke Jakarta.  Saat mobil melewati depan rumah Anindya, Nita turun dan langsung menuju rumah Anindya untuk pamit. Nita dan Anindya saling berpelukan dan meneteskan air mata.
“Nin, aku pamit pulang ke Jakarta, maaf kalau aku disini  cuma sebentar!” kata Nita.
“Gak papa, Nit, walaupun cuma sebentar, aku senang kok, yang penting aku bisa bertemu kamu lagi.” Kata Anindya.
“Makasih ya! Aku pamit, Nin, jaga dirimu baik-baik disini ya!” kata Nita
“Iya, Nit, kamu hati-hati di jalan ya! Salam buat teman-temanmu di Jakarta!” kata Anindya.
“Oke, Nin, Assalamualaikum!”
“Walaikumsalam!”
Nita kemudian berjalan kembali ke mobilnya dan sebelum ia masuk mobil, ia melambaikan tangan kepada Anindya dan Anindya pun membalasnya dengan lambaian tangan pula. Sama seperti saat mereka berpisah 5 tahun lalu. Nita masuk ke mobilnya dan mobil itu kemudian berlalu meninggalkan rumah Anindya menuju kota Jakarta.
Meskipun hanya sebentar, tapi Nita sangat bersyukur diberi kesempatan untuk bertemu dengan Anindya, sahabatnya sejak kecil. Karena sudah saling bertukar nomor telepon, mereka dapat saling  melepas rasa rindu dengan SMS-an atau teleponan.
Inilah persahabatan, sahabat sejati akan selalu ada untukmu sampai akhir hayatmu, meskipun jarak memisahkan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar