Minggu, 24 Maret 2013

Kaulah Dewiku


 KAULAH DEWIKU



            Andi mengendarai motornya dengan agak terburu-buru, “Pulsa malah habis dan harus ke konter beli pulsa, lagi mau nanyain tugas juga, huh.”, kata Andi dengan raut wajah agak kesal.
            Sesampainya di depan konter ia mengambil dompet di saku celana kanannya, sembari berjalan menuju ke konter tanpa sengaja ia bertabrakan dengan seorang perempuan berambut lurus panjang hingga hapenya terjatuh, “Ups, maaf, mbak, aku gak sengaja, aku ambilin ya.”, kata Andi kemudian akan mengambil hape perempuan tersebut, “Gak papa, mas, biar saya saja yang ambil.”, kata perempuan itu sambil akan mengambil hapenya. Tanpa disengaja, tangan mereka bersentuhan dan mata mereka saling bertatapan. Laki-laki penjaga konter berkaca mata itu cuma bisa tersenyum sambil menggelengkan kepalanya melihat kejadian tersebut. Andi lalu tersadar dan kemudian menarik tangannya yang telah menggenggam hape perempuan tersebut lalu dengan cepat berkata, “Aduh, sekali lagi maaf, mbak, udah ngejatuhin hape mbak, ini hapenya.” Andi mengembalikan hape itu kepada si perempuan dan perempuan itu berkata, “Oh, gak kenapa-kenapa kok, mas, cuma hape jelek, udah biasa jatuh, maaf juga udah megang tangan kamu.”  Lalu Andi berkata lagi sambil senyum dan menatap wajah si perempuan yang mulai tampak malu, “Oh, gak kenapa-kenapa juga kok, mbak”. Wajah perempuan itu semakin malu dan kemudian ia berlalu meninggalkan Andi di konter itu.
            Andi menjadi penasaran dengan perempuan yang ia temui di konter, sehingga ia menjadi kepikiran dengannya dan ia ingin menemuinya lagi. Seminggu kemudian, di konter yang sama Andi melihat perempuan itu lagi dan segera mendatangi dan menyapanya,
            “Hai, kamu masih ingat saya?”
            “Hai juga, siapa ya?” kata perempuan itu sambil menunjuk Andi.
            “Saya yang ngejatuhin hape kamu seminggu yang lalu.” jawab Andi.
            “Oh, iya aku ingat, maaf waktu itu aku langsung ninggalin kamu, aku malu soalnya.” kata perempuan itu.
            “Gak papa kok, oh iya, kenalin aku Andi, Andi Suprapto, nama kamu siapa?” kata Andi sambil mengulurkan tangannya.
            “Aku Dewi, Dewi Anggraeni, salam kenal ya!” kata perempuan yang bernama Dewi itu sambil menjabat tangan Andi.
            “Salam kenal juga!” kata Andi.
            “Udah ya, aku mau pulang dulu.” kata Dewi kemudian hendak meninggalkan Andi.
            “Yaah, tapi aku masih pengen ngobrol sama kamu.” kata Andi.
            “Yaudah, mana hape kamu, kita nanti telponan sehabis belajar” kata Dewi sambil menengadahkan tangannya.
            “Telponan? Oke deh, ini hape aku.” kata Andi sambil memberikan hapenya ke Dewi.
            “Ini, disimpan ya! Aku pulang dulu.” kata Dewi sambil mengembalikan hape Andi kemudian berlalu meninggalkan Andi.
            Malam harinya setelah belajar, dengan semangat Andi mengambil hapenya dan segera menelepon Dewi, sementara itu di rumah Dewi, hape Dewi berbunyi dan ia pun segera menjawabnya,
            “Assalamualaikum.”
            “Waalaikumsalam, ini Dewi?”
            “Iya, ini Andi, kan?”
            “Iya bener, udah selesai belajarnya?”
            “Udah kok, kamu?”
            “Udah juga, eh, rumahmu dimana?”
            “Di atas tanah, di bawah langit, hehe.”
            “Haduh.”
            “Bercanda lho, sama kayak kamu, dusun Wonoarjo, gak jauh kok dari rumah kamu.”
            “Lho, gak jauh dari rumah aku? Kamu yang menghuni rumah baru itu, kah?”
            “Iya, aku baru seminggu disini, aku baru saja pindah dari Jakarta
            “Tapi kok kamu bisa tau rumah aku?”
            “Kan kamu anaknya kepala dusun sini, aku tadi tanya sama bapakku.”
            “Oh, disini mau sekolah dimana?”
            “SMA 2, kamu sekolah dimana?”
            “Yaah, kita gak satu sekolah dong, aku di SMA 1”
            “Kan aku bisa bareng kamu kalo berangkat sekolah, aku sama kamu sama-sama kelas 11 lho.”
            “Dari mana kamu tau kalo aku kelas 11?”
            “Dari bapakku juga, bapakmu kan temen kecilnya bapakku, jadi mereka udah akrab dong.”
            “Lha, baru tau aku, hehehe.”
            “Hehehe, aku juga, udah dulu yuk, udah malam, waktunya tidur, assalamualaikum.”
            “Waalaikumsalam.”
            Sejak saat itu, Andi dan Dewi semakin akrab. Tiap berangkat dan pulang sekolah, mereka selalu bersama. Kadang pula, Andi mengajak Dewi makan-makan.
            Sejak awal bertemu dengan Dewi, Andi sudah memiliki rasa cinta terhadap Dewi namun hanya bisa ia pendam dalam hatinya. Hingga pada suatu minggu pagi yang cerah dan sejuk, Andi mengajak Dewi ke bukit untuk melihat pemandangan dari atas bukit itu dan juga ingin menyatakan perasaannya kepada Dewi. Setibanya di atas bukit, Dewi langsung takjub melihat sebuah pemandangan hijaunya bukit yang berselimut kabut yang belum pernah ia lihat sebelumnya,
            “Wah, indah sekali, Andi.”
            “Belum pernah melihat, kan, pemandangan indah seperti ini?”
            “Iya, di Jakarta gak ada yang seperti ini, indah banget”
            “Seindah wajah kamu, Dewi.”
            “Ah, nggombal kamu, tapi kok wajahmu kok kelihatan cemas gitu?” kata Dewi sambil menepuk pundak Andi.
            “Gak kenapa-kenapa, Dewi.” kata Andi lalu berusaha tersenyum.
            “Kamu pasti lagi kenapa-kenapa, cerita saja! siapa tau aku bisa bantu.”
            “Sebenernya…” kata Andi agak ragu lalu memegang tangan Dewi.
            “Apa, Andi? Kamu kok jadi pegang tangan aku?” kata Dewi sambil melihat kedua tangannya yang dipegang Andi.
            “Kamu itu cantik, baik, dan tutur kata lemah lembut.” kata Andi.
            “Iyakah? Makasih, tapi kok kamu menatapku seperti itu? Aku jadi malu.” kata Dewi dengan pipi memerah.
            “Iya, membuatku jatuh cinta, aku sayang kamu, Dewi.” kata Andi.
            “Kamu cinta aku, Andi? Kamu serius apa bercanda sih?” kata Dewi kurang percaya.
            “Aku serius, Dewi.” kata Andi sambil terus menatap.
            “Lalu aku harus bilang apa?” kata Dewi bingung.
            “Terima aku atau tolak aku, semua terserah padamu.” kata Andi sambil memegang tangan Dewi lebih erat lagi.
            “Belum pernah aku merasakan momen seperti ini, Andi.” kata Dewi yang mulai meneteskan air mata.
             “Iyakah? Tapi kenapa kamu menangis?” kata Andi.
             “Aku nggak nangis kok, aku cuma seneng aja, kamu tampan, baik, dan tutur kata kamu lemah lembut juga, aku ingin mengatakan sesuatu.” kata Dewi sambil melepas genggaman Andi dan kemudian memegang kedua pipi Andi.
            “Katakan saja, Dewi!” kata Andi.
            “Aku juga sayang kamu, Andi, dari lubuk hatiku yang paling dalam.” kata Dewi.
            “Kau serius?” kata Andi.
            “Iya, Andi, mulai detik ini kita pacaran.” kata Dewi kemudian memeluk tubuh Andi dan Andi pun merasa bahagia karena cintanya diterima oleh Dewi yang ia jadikan pujaan hatinya selama ini.
            Suatu hari, dusun Wonoarjo mengadakan acara jalan santai. Andi dan Dewi berjalan bersama dengan mesranya dan sesekali berfoto dengan kamera hapenya mereka punya. Sementara itu, kedua ayah mereka berjalan berdampingan di belakang mereka sambil mengamati anak-anak mereka tersebut,
            “Pak Wanto.” kata ayah Andi.
            “Ada apa, Pak Suprapto?” kata ayah Dewi.
            “Sepertinya nanti kita akan berbesan, pak.” kata ayah Andi.
            “Hahaha, iya pak, Andi dan Dewi memang sepertinya cocok sekali.” kata ayah Dewi.
            “Bukan sepertinya lagi, tapi memang cocok, anak saya yang tampan itu memang pantas untuk anak Anda yang cantik seperti istri Anda itu.” kata ayah Andi.
            “Memang rencananya, kalau sudah waktunya, saya ingin Dewi menikah dengan Andi, saya tau Andi itu orangnya berpribadi yang baik, santun pula seperti bapaknya.” kata ayah Dewi.
            “Bisa aja Pak Wanto ini, ya saya sangat setuju kalau mereka nanti menikah, tapi sekarang biarkan mereka berpacaran dulu, menikmati masa remaja mereka.”
            Andi begitu setia menyayangi Dewi, begitu pula sebaliknya. Mereka berusaha menjaga cinta mereka sampai kapan pun.
            Beberapa tahun kemudian, setelah Andi dan Dewi memiliki pekerjaan yang layak. Kedua orang tua Andi dan Dewi menikahkan mereka berdua dan lengkaplah sudah kebahagiaan mereka setelah lahir anak mereka yang diberi nama Syifa Andewi Suprapto. Dan pastinya mereka membangun keluarga yang sakinah, mawadah, dan warohmah.

By : Trian Anugrah
  

Tenda Biru


TENDA BIRU


            Benita adalah seorang gadis cantik yang tipenya setia tapi mudah sekali marah. Dia mempunyai pacar bernama Cakra yang dia adalah seorang pengusaha yang mempunyai sebuah perusahaan besar di luar kota.
            Suatu hari, Benita sedang duduk santai sambil menonton televisi dan tiba-tiba hapenya berbunyi karena pacarnya meneleponnya, dia pun dengan penuh semangat mengangkat telepon dari pacar tercintanya itu,
            “Hallo, sayang?” kata Benita dengan nada ceria.
            “Hallo juga, sayang, aku pulang loh…”, kata Cakra.
            “Yang bener sayang?” Tanya Benita yang kurang percaya.
            “Iya benerlah, ke rumahku ya nanti, soalnya…”
            “Kangen ya, oke deh, aku ke rumah kamu” kata Benita memotong perkataan Cakra.
            “Tapi sayang, aku belum….”
            “Belum apa?, belum mandi, kan?, ya udah mandi dulu sana!, aku siap-siap dulu, dah…” kata Benita yang kemudian menutup telepon.
            Benita kemudian masuk ke kamarnya, lalu ia berdandan yang cantik dengan penuh semangat dan rasa senang, sementara ia berdandan hapenya terus berbunyi berkali-kali karena pacarnya terus mencoba menelepon, setelah ia selesai berdandan ia pun mengangkat telepon dari pacarnya itu,
            “Sayang, aku belum selesai…”
            “Belum selesai mandi, udah selesaiin dulu!, aku lagi mau OTW ke rumah kamu, dah…” kata Benita memotong pembicaraan dan kemudian menutup teleponnya.
            Benita pun menuju rumah Cakra dengan mengendarai motor matiknya. Begitu sampai di rumah Cakra ia bingung melihat orang-orang yang berdandan serba rapi seperti mau kondangan mendatangi rumah Cakra, ia kaget melihat tenda berwarna biru yang berdiri kokoh di depan rumah Cakra, ia teringat akan lagu ‘Tenda Biru’ yang dipopulerkan oleh Dessy Ratnasari yang lagu mengisahkan tentang seorang perempuan yang ditinggal oleh kekasihnya menikah dengan perempuan lain tanpa memberitahu perempuan tersebut, oleh karena itu Benita mengira kalau Cakra akan menikah dengan perempuan lain. Dalam sekejap, Benita yang tadinya ceria berubah menjadi sangat marah dan berjalan menuju arah Cakra yang sedang ‘among tamu’ dan langsung menampar Cakra di hadapan orang-orang yang sedang kondangan,
            “Pengkhianat…., kamu udah gak setia sama aku?, tega banget kamu ninggalin aku dan nikah sama cewek lain” kata Benita sambil marah-marah.
            “Aku itu nggak….”
            “Nggak apa?, nggak setia lagi sama aku?, iya kan?” kata Benita memotong kata Cakra yang berusaha menenangkan Benita.
            “Sayang, …”
            “Gak usah panggil sayang lagi!, dasar…” kata Benita memotong.
            “Siapa yang mau nikah, ini bukan pesta kawinan, ini pesta sunatan adikku” kata Cakra yang memotong perkataan Benita dengan nada yang lebih tinggi sehingga membuat Benita menjadi tercengang.
            Cakra lalu menarik Benita masuk, melewati meja prasmanan, dan masuk ke sebuah kamar yang terdapat adiknya Cakra yang terlihat baru saja disunat sedang ditunggui oleh neneknya,
            “Hihihi, adik kamu sunatan to?” kata Benita dengan wajah yang berubah menjadi malu.
            “Iya, emang kenapa?”, kata Cakra dengan nada kesal.
            “Kenapa gak bilang, sih?”, Tanya Benita.
            “Aku tadi udah nelpon kamu berkali-kali buat ngasih tau kalo adikku sunatan, tapi kamu malah motang-motong mulu”, jawab Cakra dengan nada lebih kesal.
            Cakra lalu menarik Benita ke depan rumahnya,
            “Kamu udah bikin aku malu di depan tamu undangan, mulai sekarang kita putus, LOE GUE END!!!”, kata Cakra.
            “Jangan!, jangan!, kok putus sih?” kata Benita sambil berlutut kepada Cakra.
            “Habis kamu dah bikin malu, sekarang pergi dari sini”, kata Cakra sambil mengacung jarinya ke arah jalan depan rumah.
            Benita mulai menangis tersedu-sedu dan berlari menuju motornya dan akhirnya Benita pulang dengan rasa sesalnya.   

By : Trian Anugrah