Andi
mengendarai motornya dengan agak terburu-buru, “Pulsa malah habis dan harus ke
konter beli pulsa, lagi mau nanyain tugas juga, huh.”, kata Andi dengan raut
wajah agak kesal.
Sesampainya
di depan konter ia mengambil dompet di saku celana kanannya, sembari berjalan
menuju ke konter tanpa sengaja ia bertabrakan dengan seorang perempuan berambut
lurus panjang hingga hapenya terjatuh, “Ups, maaf, mbak, aku gak sengaja, aku
ambilin ya.”, kata Andi kemudian akan mengambil hape perempuan tersebut, “Gak papa,
mas, biar saya saja yang ambil.”, kata perempuan itu sambil akan mengambil
hapenya. Tanpa disengaja, tangan mereka bersentuhan dan mata mereka saling
bertatapan. Laki-laki penjaga konter berkaca mata itu cuma bisa tersenyum
sambil menggelengkan kepalanya melihat kejadian tersebut. Andi lalu tersadar
dan kemudian menarik tangannya yang telah menggenggam hape perempuan tersebut
lalu dengan cepat berkata, “Aduh, sekali lagi maaf, mbak, udah ngejatuhin hape
mbak, ini hapenya.” Andi mengembalikan hape itu kepada si perempuan dan
perempuan itu berkata, “Oh, gak kenapa-kenapa kok, mas, cuma hape jelek, udah
biasa jatuh, maaf juga udah megang tangan kamu.” Lalu Andi berkata lagi sambil senyum dan
menatap wajah si perempuan yang mulai tampak malu, “Oh, gak kenapa-kenapa juga
kok, mbak”. Wajah perempuan itu semakin malu dan kemudian ia berlalu
meninggalkan Andi di konter itu.
Andi
menjadi penasaran dengan perempuan yang ia temui di konter, sehingga ia menjadi
kepikiran dengannya dan ia ingin menemuinya lagi. Seminggu kemudian, di konter
yang sama Andi melihat perempuan itu lagi dan segera mendatangi dan menyapanya,
“Hai,
kamu masih ingat saya?”
“Hai
juga, siapa ya?” kata perempuan itu sambil menunjuk Andi.
“Saya
yang ngejatuhin hape kamu seminggu yang lalu.” jawab Andi.
“Oh,
iya aku ingat, maaf waktu itu aku langsung ninggalin kamu, aku malu soalnya.”
kata perempuan itu.
“Gak papa
kok, oh iya, kenalin aku Andi, Andi Suprapto, nama kamu siapa?” kata Andi
sambil mengulurkan tangannya.
“Aku Dewi,
Dewi Anggraeni, salam kenal ya!” kata perempuan yang bernama Dewi itu sambil
menjabat tangan Andi.
“Salam
kenal juga!” kata Andi.
“Udah ya,
aku mau pulang dulu.” kata Dewi kemudian hendak meninggalkan Andi.
“Yaah, tapi
aku masih pengen ngobrol sama kamu.” kata Andi.
“Yaudah,
mana hape kamu, kita nanti telponan sehabis belajar” kata Dewi sambil
menengadahkan tangannya.
“Telponan?
Oke deh, ini hape aku.” kata Andi sambil memberikan hapenya ke Dewi.
“Ini,
disimpan ya! Aku pulang dulu.” kata Dewi sambil mengembalikan hape Andi
kemudian berlalu meninggalkan Andi.
Malam
harinya setelah belajar, dengan semangat Andi mengambil hapenya dan segera
menelepon Dewi, sementara itu di rumah Dewi, hape Dewi berbunyi dan ia pun
segera menjawabnya,
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam,
ini Dewi?”
“Iya, ini
Andi, kan ?”
“Iya bener,
udah selesai belajarnya?”
“Udah kok,
kamu?”
“Udah juga,
eh, rumahmu dimana?”
“Di atas
tanah, di bawah langit, hehe.”
“Haduh.”
“Bercanda
lho, sama kayak kamu, dusun Wonoarjo, gak jauh kok dari rumah kamu.”
“Lho, gak
jauh dari rumah aku? Kamu yang menghuni rumah baru itu, kah?”
“Iya, aku
baru seminggu disini, aku baru saja pindah dari Jakarta ”
“Tapi kok
kamu bisa tau rumah aku?”
“Kan kamu anaknya kepala
dusun sini, aku tadi tanya sama bapakku.”
“Oh, disini
mau sekolah dimana?”
“SMA 2,
kamu sekolah dimana?”
“Yaah, kita
gak satu sekolah dong, aku di SMA 1”
“Kan aku bisa bareng kamu
kalo berangkat sekolah, aku sama kamu sama-sama kelas 11 lho.”
“Dari mana
kamu tau kalo aku kelas 11?”
“Dari
bapakku juga, bapakmu kan
temen kecilnya bapakku, jadi mereka udah akrab dong.”
“Lha, baru
tau aku, hehehe.”
“Hehehe,
aku juga, udah dulu yuk, udah malam, waktunya tidur, assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Sejak saat
itu, Andi dan Dewi semakin akrab. Tiap berangkat dan pulang sekolah, mereka
selalu bersama. Kadang pula, Andi mengajak Dewi makan-makan.
Sejak awal
bertemu dengan Dewi, Andi sudah memiliki rasa cinta terhadap Dewi namun hanya
bisa ia pendam dalam hatinya. Hingga pada suatu minggu pagi yang cerah dan
sejuk, Andi mengajak Dewi ke bukit untuk melihat pemandangan dari atas bukit
itu dan juga ingin menyatakan perasaannya kepada Dewi. Setibanya di atas bukit,
Dewi langsung takjub melihat sebuah pemandangan hijaunya bukit yang berselimut
kabut yang belum pernah ia lihat sebelumnya,
“Wah, indah
sekali, Andi.”
“Belum
pernah melihat, kan ,
pemandangan indah seperti ini?”
“Iya, di
Jakarta gak ada yang seperti ini, indah banget”
“Seindah
wajah kamu, Dewi.”
“Ah,
nggombal kamu, tapi kok wajahmu kok kelihatan cemas gitu?” kata Dewi sambil
menepuk pundak Andi.
“Gak
kenapa-kenapa, Dewi.” kata Andi lalu berusaha tersenyum.
“Kamu pasti
lagi kenapa-kenapa, cerita saja! siapa tau aku bisa bantu.”
“Sebenernya…”
kata Andi agak ragu lalu memegang tangan Dewi.
“Apa, Andi?
Kamu kok jadi pegang tangan aku?” kata Dewi sambil melihat kedua tangannya yang
dipegang Andi.
“Kamu itu cantik,
baik, dan tutur kata lemah lembut.” kata Andi.
“Iyakah? Makasih,
tapi kok kamu menatapku seperti itu? Aku jadi malu.” kata Dewi dengan pipi
memerah.
“Iya,
membuatku jatuh cinta, aku sayang kamu, Dewi.” kata Andi.
“Kamu cinta
aku, Andi? Kamu serius apa bercanda sih?” kata Dewi kurang percaya.
“Aku
serius, Dewi.” kata Andi sambil terus menatap.
“Lalu aku
harus bilang apa?” kata Dewi bingung.
“Terima aku
atau tolak aku, semua terserah padamu.” kata Andi sambil memegang tangan Dewi
lebih erat lagi.
“Belum
pernah aku merasakan momen seperti ini, Andi.” kata Dewi yang mulai meneteskan
air mata.
“Iyakah? Tapi kenapa kamu menangis?” kata Andi.
“Aku nggak nangis kok, aku cuma seneng aja,
kamu tampan, baik, dan tutur kata kamu lemah lembut juga, aku ingin mengatakan
sesuatu.” kata Dewi sambil melepas genggaman Andi dan kemudian memegang kedua
pipi Andi.
“Katakan
saja, Dewi!” kata Andi.
“Aku juga
sayang kamu, Andi, dari lubuk hatiku yang paling dalam.” kata Dewi.
“Kau
serius?” kata Andi.
“Iya, Andi,
mulai detik ini kita pacaran.” kata Dewi kemudian memeluk tubuh Andi dan Andi
pun merasa bahagia karena cintanya diterima oleh Dewi yang ia jadikan pujaan
hatinya selama ini.
Suatu hari,
dusun Wonoarjo mengadakan acara jalan santai. Andi dan Dewi berjalan bersama
dengan mesranya dan sesekali berfoto dengan kamera hapenya mereka punya.
Sementara itu, kedua ayah mereka berjalan berdampingan di belakang mereka
sambil mengamati anak-anak mereka tersebut,
“Pak
Wanto.” kata ayah Andi.
“Ada apa, Pak Suprapto?”
kata ayah Dewi.
“Sepertinya
nanti kita akan berbesan, pak.” kata ayah Andi.
“Hahaha,
iya pak, Andi dan Dewi memang sepertinya cocok sekali.” kata ayah Dewi.
“Bukan
sepertinya lagi, tapi memang cocok, anak saya yang tampan itu memang pantas
untuk anak Anda yang cantik seperti istri Anda itu.” kata ayah Andi.
“Memang
rencananya, kalau sudah waktunya, saya ingin Dewi menikah dengan Andi, saya tau
Andi itu orangnya berpribadi yang baik, santun pula seperti bapaknya.” kata
ayah Dewi.
“Bisa aja
Pak Wanto ini, ya saya sangat setuju kalau mereka nanti menikah, tapi sekarang
biarkan mereka berpacaran dulu, menikmati masa remaja mereka.”
Andi begitu
setia menyayangi Dewi, begitu pula sebaliknya. Mereka berusaha menjaga cinta
mereka sampai kapan pun.
Beberapa
tahun kemudian, setelah Andi dan Dewi memiliki pekerjaan yang layak. Kedua
orang tua Andi dan Dewi menikahkan mereka berdua dan lengkaplah sudah
kebahagiaan mereka setelah lahir anak mereka yang diberi nama Syifa Andewi
Suprapto. Dan pastinya mereka membangun keluarga yang sakinah, mawadah, dan
warohmah.
By : Trian Anugrah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar