Jumat, 19 Juli 2013

Cerpen : Sahabat Tak Terlupakan


SAHABAT TAK TERLUPAKAN


                Suara azan subuh dan suara kokok ayam membangunkan Nita. Dengan kondisi yang masih mengantuk, ia berjalan pelan menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Setelah itu, ia berjalan menuju kembali ke kamarnya. Diambilnya mukena dan sajadah yang terlipat rapi di dalam almari kamarnya dan segera ia mengenakan mukena tersebut dan menggelar sajadah menghadap kiblat. Kemudian, Nita menunaikan ibadah sholat subuh yang didahului dengan mengerjakan sholat sunah qobliyah subuh yang pahalanya lebih baik daripada dunia dan seisinya.
                Selesai sholat subuh, Nita menuju ke dapur mengambil nasi dan lauk-pauk untuk sarapan pagi. Lalu ia menuju ruang tamunya dan menyalakan televisi. Nita menikmati sarapan paginya sambil menonton acara berita pagi pada salah satu stasiun televisi.
                Saat acara berita tersebut memberitakan tentang seorang pelajar SMA bernama Anindya Kusumawati yang berhasil meraih juara 1 olimpiade matematika tingkat nasional, Nita berhenti menyantap sarapan paginya sejenak dan langsung terfokus pada berita yang sedang diberitakan dan betapa kagetnya ia bahwa yang sedang diberitakan adalah teman sekelas sewaktu masih duduk di bangku SD dulu.
                Setelah berita itu usai, Nita melanjutkan santap paginya. Setelah selesai sarapan, Nita tiduran sejenak di kursi panjang sofa ruang tamunya sambil mengingat masa-masa di SD dulu, saat masih dekat dengan Anindya. Nita dan Anindya sudah akrab sejak masih TK dan persahabatan mereka masih terus berlanjut di bangku SD. Mereka sering belajar bersama tiap usai pulang sekolah dan juga sering bermain sekolah. Anindya memang murid paling pintar di kelas saat itu, ia selalu meraih rangking 1, sedangkan Nita hanya dapat meraih rangking 2. Namun, kondisi ekonomi keluarga Nita lebih baik daripada kondisi ekonomi keluarga Anindya. Ayah Nita adalah seorang guru olahraga sedangkan ibunya adalah ibu rumah tangga, sedang kedua orang tua Anindya hanyalah seorang buruh tani. Walaupun demikian, Anindya tetap memiliki semangat belajar yang tinggi.
                Namun, ayah Nita dimutasi ke kota Jakarta saat Nita lulus SD, sehingga Nita dan keluarganya harus pindah ke Jakarta. Masih teringat dalam pikiran Nita saat ia datang ke rumah Anindya untuk pamit pindah ke Jakarta. Saat berangkat menuju Jakarta, Nita menyempatkan diri untuk mendatangi rumah Anindya yang hanya berdinding rotan. Waktu itu, Anindya sedang duduk di sebuah bangku kayu di depan rumahnya dan melihat Nita turun dari mobilnya dan berjalan ke rumahnya.
                “Anindya!” sapa Nita sambil berjalan menuju Anindya
                “Iya, ada apa, Nita?” balas Anindya sambil beranjak dari bangku
                “Bapak ibumu kemana?” Tanya Nita
                “Masih di sawah, lagi panen.” Jawab Anindya
                “Nin, maaf aku gak bisa memenuhi janjiku ke kamu kalau kita akan terus bersama sampai SMA nanti.” Kata Nita sambil mata mulai memerah tanda akan menangis
                “Lho, kenapa, Nit?” Tanya Anindya
                “Ayahku pindah kerja ke Jakarta dan aku sama keluargaku harus pindah ke sana, meninggalkan kakek nenekku dan juga kamu, maaf ya!” jawab Nita mulai menangis
                “Sebenarnya aku ingin kita bersama sampai SMA, tapi kalau memang kamu harus pindah, tidak mengapa asal kamu tidak ngelupain aku, Nit!” kata Anindya yang juga mulai menangis
                “Aku gak bakal ngelupain kamu kok, Nin. Aku gak bakal tega ngelupain sahabatku sendiri.” Kata Nita
                “Makasih ya, Nit!” kata Anindya
                “Sama-sama, Nin. Oh iya, aku pengen ngasih ini ke kamu, Nin.” Kata Nita sambil mengambil dua buah kalung bintang dari sakunya
                “Apa ini, Nit?” Tanya Anindya sambil menujuk kalung tersebut
                “Ini kalung persahabatan kita, ku harap kamu memakainya sampai kapan pun dan aku pun juga.” Kata Nita.
                Mereka berdua saling memakaikan kalung persahabatan itu. Nita memakaikan ke Anindya dan sebaliknya, Anindya memakaikan ke Nita. Kemudian mereka saling berpelukan dan tangis perpisahan mereka pecah di depan rumah Anindya.
                “Nit, jaga dirimu baik-baik disana ya! Aku bakal selalu merindukanmu, Nit.” Kata Anindya sambil menyeka air matanya.
                “Jaga dirimu baik-baik juga disini, Nin! Aku juga bekal selalu merindukanmu. Aku pamit ya, Nin! Assalamualaikum!” kata Nita pamit kepada Anindya.
                “Waalaikumsalam!” jawab Anindya.
                Nita kemudian berjalan menuju ke mobilnya. Saat akan masuk ke mobil, ia melihat ke arah Anindya yang masih menangis terdiam melihatnya lalu ia melambaikan tangan ke Anindya dan Anindya pun membalasnya. Sungguh itu adalah sebuah perpisahan yang mengharukan dan harus mereka jalani.
                Kurang lebih setengah jam Nita terhanyut dalam ingatannya itu dan ia tersadar saat ibunya menepuk kakinya, “Nita, malah ngelamun disini, cepet mandi sana keburu siang!” “Ahhh…. Ibu, ngagetin Nita aja, jam berapa ini, bu?” Tanya Nita pada ibunya dan ibunya menjawab, “Udah jam 5 lebih seperempat, cepetan mandi! Nanti terlambat lho.” “Siap bu, laksanakan!” jawab Nita sambil beranjak dari sofa dan langsung menuju kamar mandi sementara ibunya membereskan piring dan gelas yang dipakai Nita untuk sarapan.
                Hari itu, Nita sangatlah senang karena ia dapat melihat sahabat di kampungnya yang telah 5 tahun tidak ia jumpai walaupun hanya terbatas di layar televisi saja. Dalam hatinya ia merasa bangga punya sahabat yang berprestasi bahkan menjadi juara olimpiade matematika tingkat nasional. Tetapi dalam hatinya ia bertanya-tanya apakah Anindya masih ingat dengannya, namun ia tetap yakin kalau Anindya masih ingat dengannya.
                Sore harinya, Nita menonton acara talk show favoritnya. Kebetulan tamu yang undang dalam acara saat itu adalah Anindya dan betapa senangnya hati Nita melihat sahabatnya itu muncul di layar televisinya dengan berhijab. Nita dengan antusias menyimak tiap-tiap pembicaraan yang dilakukan oleh pembawa acara dan Anindya.
                “Bagaimana perasaan Anda saat tau bahwa Anda menjadi juara olimpiade matematika tingkat nasional?” Tanya pembawa acara.
                “Yang pasti senang dan gak nyangka juga, selain senang karena bisa menjadi juara olimpiade, saya bisa membanggakan kedua orang tua saya, sekolah saya, teman-teman saya, dan lingkungan sekitar tempat tinggal saya.” Jawab Anindya dengan wajah yang tampak ceria.
                “Apa yang selalu Anda lakukan supaya dapat meraih kesuksesan luar biasa seperti ini?” Tanya pembawa acara.
                “Hmm… yang pasti selalu berdoa dan juga berusaha, walaupun ada keterbatasan tapi jangan jadikan itu penghalang untuk menjadi sukses, dan juga seringlah berbakti pada orang tua supaya mereka senang dan meridhoi kebaikan untuk saya, karena ridho orang tua adalah ridho Allah.” Jawab Anindya.
                “Siapakah orang-orang yang selalu memberi dukungan kepada Anda supaya menjadi sukses seperti ini?” Tanya pembawa acara.
                “Yang pasti ayah dan ibu saya, bapak dan ibu guru di sekolah, sahabat-sahabatku semua tak terkecuali sahabatku yang sekarang ada di Jakarta dan sudah kurang lebih 5 tahun tidak ketemu, yang dulu sering ngehibur aku kalau aku sedang sedih, ngasih motivasi juga buat aku, Nita Kusumandari, aku kangen kamu, aku harap bisa cepet dapat kabar dari kamu.” Kata Anindya dengan mata yang mulai meneteskan air mata sambil menatap ke arah kamera yang sedang on.
                Nita yang melihat kejadian itu juga ikut menangis. Ia tau jika Anindya pasti akan selalu mengingatnya. Dalam hatinya, ia ingin sekali pulang kampung agar bisa bertemu dengan Anindya.
                Keesokan paginya, di hari minggu yang cerah. Ayah Nita sedang sibuk membaca koran di teras rumah dan ibu Nita keluar membawakan secangkir kopi pagi untuk ayah Nita, “Ini kopinya, silahkan diminum, pah!” kata ibu Nita sambil meletakkan kopi di meja samping kursi yang diduduki ayah Nita lalu ibu Nita duduk di kursi sebelah meja itu, “Iya, mama! Makasih ya! Tambah cantik deh mama.” Kata ayah Nita sambil mencolek pipi ibu Nita, “Ah, papa bisa aja deh, Nita kemana, pa?” Tanya ibu Nita, “Biasa, kan minggu pagi biasanya Nita lari pagi keliling komplek sini.” Jawab ayah Nita.
                Tak lama kemudian, muncul Nita dari balik gerbang rumahnya sambil mengelap keringatnya menggunakan handuk good morning, “Assalamualaikum, papa mama!” sapa Nita lalu bersalaman dan mencium tangan kedua orang tuanya itu, “Waalaikumsalam!” jawab kedua orang tua Nita, “Papa, Nita boleh ngomong sesuatu gak?” Tanya Nita kepada ayahnya, “Boleh, apa nak?” jawab ayahnya, “Kapan kita pulang kampung, pa? Udah 5 tahun kita gak pulang kampung, aku udah kangen sama kakek nenek, kangen Anindya juga.” Kata Nita kepada ayahnya, kemudian ayahnya tersenyum lalu berkata, “Kebetulan, nak, lebaran tahun ini kita akan pulang kampung, ayah akan membeli mobil buat mudik besok, ya maafkan ayah ibumu, nak, mobil ayah dulu dijual untuk membeli rumah ini!” “Tak apa papa, yang penting papa bisa beli mobil lagi, terus bisa pulang kampung deh.” Kata Nita dengan perasaan senang, “ya sudah, sarapan dulu sana! Mama udah bikinin kamu nasi goreng.” “Oke mama!”.
                Bulan puasa pun tiba dan menjelang hari raya idul fitri seperti biasa pasti ada musim mudik. H-2 lebaran, Nita sekeluarga mudik menggunakan mobil baru mereka. Nita sangatlah senang karena akhirnya ia bisa pulang kampung dan ia tidak sabar untuk bertemu lagi dengan Anindya. Namun sayangnya dalam perjalanan menuju Tasikmalaya mereka terkena macet yang cukup parah. Akibatnya, mereka tiba di Tasikmalaya pada H-1 lebaran pukul 11 malam dan Nita belum dapat bertemu dengan Anindya. Hanya sebuah suasana bahagia bertemu dengan kakek neneknya dan mendengar suara takbir yang menghiasi malam hari raya idul fitri yang ia temui setelah 5 tahun lamanya tidak menjamah kampung halamannya.
                Keesokan paginya, dengan mengenakan pakaian muslim yang serba baru, Nita dan keluarganya berangkat berjalan kaki menuju masjid bersama dengan warga-warga sekitar untuk melakukan ibadah sholat idul fitri.
                Setibanya di masjid, Nita melihat-lihat sekeliling berharap ia dapat segera melihat Anindya. Namun, ia belum dapat menemukannya. Selesai shalat idul fitri, Nita berusaha mencari Anindya lagi dan akhirnya ia melihat seseorang yang pernah ia lihat sebelumnya yang ia yakini sebagai Anindya hendak berjalan keluar komplek masjid lalu ia berjalan agak cepat mendekatinya. Kemudian, Nita menepuk pundak Anindya dan Anindya pun berbalik menghadapnya, “Anindya Kusumawati?”, “Iya, saya Anindya, ada apa?”, “Masih ingat aku? Aku Nita, Nita Kusumandari.”, “Nita? Ya Allah!” Nita dan Anindya langsung berpelukan sambil menangis bahagia karena akhirnya mereka dapat berjumpa lagi setelah 5 tahun berpisah dan selama itu mereka tidak pernah saling berkomunikasi. Mereka berdua telah menginjak masa remaja dan keduanya sama-sama rajin berhijab. Setelah mereka berpelukan, mereka saling mengucapkan “Minal Aidin Wal Faidzin” dan tak lupa Nita mengucapkan selamat kepada Anindya karena telah menjuarai olimpiade matematika tingkat nasional.
                Siang harinya, Nita sekeluarga bersilaturahmi ke rumah Anindya. Mereka saling bersalam-salaman dan saling memaafkan kepada keluarga Anindya.
                Sore harinya, Anindya mengajak Nita berjalan-jalan menyusuri sawah dekat rumahnya. Menikmati udara sore dan melihat pemandangan desa yang masih asri. Saat berjalan-jalan, tiba-tiba Anindya melepas kerudungnya dan memperlihat kalung bintang yang pernah diberikan Nita kepadanya.
                “Kau masih menyimpannya, Nin?” Tanya Nita.
                “Aku selalu menyimpan dan menggunakannya, inikan kalung persahabatan kita.” Kata Anindya.
                “Aku juga masih memakainya.” Kata Nita sambil melepas kerudungnya dan memperlihatkan kalung yang sama kepada Anindya.
                “Kalau aku melihat kalung ini, aku selalu ingat kamu, Nit, pas tadi pagi ketemu di masjid itu aku pangling, wajah kamu sudah tampak berbeda sedikit, maaf ya!” kata Anindya.
                “Nggak papa kok, Nin.” Kata Nita sambil tersenyum.
                “Walaupun kita terpisah, tapi kita tetap bersahabat, saling menyayangi, dan saling merindukan, sampai kapan pun, oke, Nita Kusumandari!” kata Anindya.
                “Oke, Anindya Kusumawati!” kata Nita.
Mereka kemudian saling menautkan jari kelingking mereka sebagai tanda persahabatan dan mereka berjanji akan selalu menjaga ikatan persahabatan mereka sampai kapan pun. Mereka saling bertukar nomor telepon agar tetap bisa saling berkomunikasi.
5 hari sudah Nita berada di kampung halamannya untuk merayakan lebaran sekaligus melepas rasa rindu dengan Anindya dan saatnya Nita harus pulang ke Jakarta.  Saat mobil melewati depan rumah Anindya, Nita turun dan langsung menuju rumah Anindya untuk pamit. Nita dan Anindya saling berpelukan dan meneteskan air mata.
“Nin, aku pamit pulang ke Jakarta, maaf kalau aku disini  cuma sebentar!” kata Nita.
“Gak papa, Nit, walaupun cuma sebentar, aku senang kok, yang penting aku bisa bertemu kamu lagi.” Kata Anindya.
“Makasih ya! Aku pamit, Nin, jaga dirimu baik-baik disini ya!” kata Nita
“Iya, Nit, kamu hati-hati di jalan ya! Salam buat teman-temanmu di Jakarta!” kata Anindya.
“Oke, Nin, Assalamualaikum!”
“Walaikumsalam!”
Nita kemudian berjalan kembali ke mobilnya dan sebelum ia masuk mobil, ia melambaikan tangan kepada Anindya dan Anindya pun membalasnya dengan lambaian tangan pula. Sama seperti saat mereka berpisah 5 tahun lalu. Nita masuk ke mobilnya dan mobil itu kemudian berlalu meninggalkan rumah Anindya menuju kota Jakarta.
Meskipun hanya sebentar, tapi Nita sangat bersyukur diberi kesempatan untuk bertemu dengan Anindya, sahabatnya sejak kecil. Karena sudah saling bertukar nomor telepon, mereka dapat saling  melepas rasa rindu dengan SMS-an atau teleponan.
Inilah persahabatan, sahabat sejati akan selalu ada untukmu sampai akhir hayatmu, meskipun jarak memisahkan.



Selasa, 11 Juni 2013

Cerpen : Ku Ingin Setia


KU INGIN SETIA


                Dika mengendarai sepeda motornya dengan tergesa-gesa menuju terminal Giwangan. Dalam hatinya berharap ia sempat menemui kekasihnya, Annisa yang hendak berangkat Praktik Kerja Lapangan (PKL) di Surabaya selama 4 bulan. Sesampainya di terminal, ia bergegas menuju ruang tunggu terminal mencoba mencari Annisa, namun ia tak kunjung menemukannya. Sementara itu, di dalam sebuah bus tujuan Surabaya, Annisa melihat Dika yang tampak kebingungan mencarinya. Annisa segera turun dari bus mumpung belum akan diberangkatkan dan segera ia berlari menghampiri Dika dan memanggilnya, “Dika!” Dika pun segera menoleh ke arah datangnya suara itu dan ia melihat Annisa sedang berlari ke arahnya,
                “Dika, maaf!” kata Annisa sambil mulai menangis
                “Maaf kenapa? Kenapa menangis, Nis?” kata Dika
                “Maaf, selama 4 bulan aku harus ninggalin kamu sendiri di kota ini, sebenarnya aku gak ingin jauh dari kamu, Dik.” Kata Annisa sambil menyeka air matanya
                “Itu sudah tugas dari sekolahmu, sudah jalani saja dengan penuh rasa ikhlas, aku juga sebenarnya gak ingin jauh dari kamu, tapi harus bagaimana lagi?” kata Dika yang mulai menangis
                “Jaga cinta kita, Dik! Aku juga akan menjaganya, ku yakin kita pasti bias, Dik.” Kata Annisa
                “Pasti, sayang. Aku kan setia sampai kamu kembali nanti, tetap jaga komunikasi!” kata Dika
                “Iya, Dik. Aku juga akan setia untukmu, bisku mau berangkat, aku pamit, Dik. Assalamualaikum!” kata Annisa sambil menjabat tangan Dika kemudian berlari ke bis
                “Waalaikumsalam, hati-hati di jalan, sayang! I Love You.” Kata Dika
                “I Love You too.” Kata Annisa sambil menoleh ke arah Dika.
Annisa masuk ke bisnya dan bis yang ditumpanginya itu berangkat menuju kota Surabaya. Dika dan Annisa saling melambaikan tangan disaat perpisahan itu. Bis itu pun terus melaju keluar terminal dan tinggallah Dika yang mulai merasakan rindu dengan Annisa, begitu pula dengan Annisa yang mulai merasakan rindu kepada Dika.
                Keesokan paginya, Dika terbangun dari tidur nyenyak dan diraihlah ponselnya yang berada di meja samping ranjangnya. Dika melihat ada sms yang masuk dan langsung membukanya dan ternyata sms itu dari Annisa yang selalu mengucapkan “Selamat Pagi” kepada kekasihnya itu. Dika beranjak dari ranjangnya dan berjalan menuju pintu kamarnya tapi langkahnya terhenti saat rasa rindunya kepada Annisa seakan menghentikan langkahnya dan pikiran Dika bagai telah dipenuhi bayangan Annisa. Lalu secara perlahan, Dika meneruskan langkahnya. Dengan segera ia mengambil air wudhu dan menunaikan ibadah sholat subuh. Dika kemudian bersiap-siap untuk berangkat sekolah dengan hati yang terus terasa dipeluk oleh rasa rindu.
                Dika berangkat menuju sekolah menggunakan sepeda motor matic-nya. Saat melewati SMK tempat dimana Annisa bersekolah, rindu dalam hatinya semakin membara. Ia teringat saat dulu sering menjemput Annisa saat pulang sekolah dan terkadang mengajaknya makan siang bersama. Namun, Annisa sedang di Surabaya karena PKL selama 4 bulan dan selama itu Dika yang bersekolah di SMA itu harus menjalani harinya di kota Jogja tanpa sosok Annisa berada di sampingnya dan hanya sebuah ponsel yang ia pakai untuk berkomunikasi dengan Annisa.
                2 bulan berlalu sejak Annisa berangkat PKL ke Surabaya, Dika masih merasakan rindu setengah matinya kepada Annisa. Ia berusaha untuk tetap setia dengan Annisa walaupun sedang jauh darinya.
                Dika serasa terusik oleh seorang adik kelasnya yang setiap hari mengikutinya tanpa ia tau sebabnya. Dialah Arni, ia jatuh cinta dengan Dika karena ia tau bahwa Dika adalah seorang bintang kelas di kelas XI IPA 4. Arni selalu berusaha untuk mendapatkan cinta Dika tapi ia tak tau jika Dika sudah mempunyai seorang kekasih. Arni tak mampu mengungkapkan perasaannya kepada Dika, ia Cuma bisa berusaha memikat hati Dika dan berharap Dika jatuh cinta kepadanya.
                Sampai suatu malam, ada beberapa sms masuk ke ponsel Dika yang semuanya berisi puisi. Dika bertanya kepada si pengirim, “Maaf ini nomornya siapa ya?” namun si pengirim hanya menjawab, “Aku yang selama ini memujamu, mas Dika.” Jawaban itu membuat Dika semakin bertanya-tanya.
                Selama seminggu ponsel Dika terus dikirimi puisi cinta oleh Arni, tapi Arni sengaja merahasiakan identitasnya dan hanya berkata bahwa ia memuja dan mencintai Dika. Setelah seminggu hanya mengirim puisi cinta kepada Dika lewat sms, Arni mengirim puisi lewat selembar kertas yang dititipkannya lewat temannya, Septi. Septi mendatangi kelas XI IPA 4 sambil membawa puisi dari Arni untuk diberikan kepada Dika saat istirahat kedua berlangsung. Ia melihat Dika sedang duduk pada sebuah bangku di depan kelas XI IPA 4 lalu menyapanya,
                “Mas Dika!” sapa Septi
                “Ya, ada apa? Kamu siapa?” kata Dika
                “Saya Septi, mas Dika. Anak kelas X1. Saya kesini mau ngasih titipan puisi buat mas.” Kata Septi
                “Buat saya? Dari siapa, dek?” Tanya Dika
                “Wah, maaf mas! Itu rahasia, pokoknya dia cinta sama mas. Ini mas, saya balik ke kelas dulu.” Kata Septi sambil meletaknya puisi di samping Dika lalu berlalu meninggalkan Dika
                “Dek, dek, tunggu dulu, dek!” kata Dika memanggil Septi yang berlalu meninggalkannya
                Hampir sebulan Dika terus mendapat kiriman puisi cinta dari seseorang yang mengaku orang yang sedang jatuh cinta padanya. Dalam puisi yang ia dapatkan berisi kata-kata yang mengharap agar ia menyatakan cinta pada si pengirim. Namun, sudah pasti ia tak bisa karena cintanya sudah diberikan kepada Annisa yang selama 1 tahun sudah setia mencintainya. Karena Dika ingin cepat-cepat tau siapa yang mengirim puisi kepadanya selama ini, ia menghadang Septi yang hendak pulang dan sedang akan menghidupkan motornya,
                “Dek, boleh bicara sebentar?” kata Dika kepada Septi
                “Tentang apa, mas?” jawab Septi
                “Siapa sebenarnya orang yang mengirim puisi kepada saya, tolong katakan dengan sejujur-jujurnya!” kata Dika
                “Maaf mas, saya gak bisa, saya mau pulang.” Kata Septi
                “Kunci motormu saya ambil dan gak akan saya kembalikan sebelum kamu ngasih tau siapa yang ngirim puisi itu.” Kata Dika sambil mencabut paksa kunci motor Septi dari motornya.
                “Apa-apaan sih, mas? Balikin gak!” kata Septi yang agak gusar.
                “Gak akan saya balikin sebelum kamu bilang siapa yang ngirim puisi itu ke saya.” Kata Dika dengan tegas.
                “Ya udahlah, mas. Sebenernya yang ngirim puisi itu Arni, temen sekelasku. Dia jatuh cinta sama mas Dika makanya ia nulis dan ngirim puisi cinta buat mas. Sekarang dia masih di kelas. Ayo, saya antar, mas!” kata Septi kemudian turun dari motornya dan berjalan menuju kelasnya dan Dika mengikuti di belakangnya.
                Setibanya di kelas X1, Dika dan Septi melihat Arni sedang asyik menulis puisi, lalu Septi memanggilnya, ”Arni, dicari mas Dika.” Arni kaget dan wajahnya menjadi malu lalu ia berlari keluar kelasnya dan berlari menuju parkiran, “Arni, tunggu!” teriak Septi lalu berlari mengikuti Arni kemudian Dika mengikutinya dengan pelan.
                Di parkiran, Septi melihat Arni berdiri bersandar di tembok sambil menangis, lalu Septi datang menghampirinya,
                “Ar, kamu kenapa menangis?” Tanya Septi.
                “Aku tadi lihat-lihat FB-nya mas Dika, ternyata dia udah punya pacar, Sep.” jawab Arni sambil terus menangis tersedu-sedu.
                “Arni, kalo mas Dika udah punya pacar ya sudah, jangan ganggu hubungan mas Dika sama pacarnya!” kata Septi.
                “Tapi aku cinta mas Dika, sep!” kata Arni lalu memeluk Septi dan terus menangis.
                “Arni, jadi selama ini kamu yang mengirim puisi cinta ke aku?” Tanya Dika dengan suara datar.
                “Iya mas, maaf ya, aku jatuh sama mas Dika, tapi aku gak berani mengungkapkan cintaku ke mas.” Jawab Arni sambil menyeka air matanya.
                “Tidak apa-apa, dek. Puisimu bagus semua kok. Cuma tolong jangan diberikan ke saya, saya sudah punya pacar!” kata Dika
                “Makasih ya, mas Dika! Sekali lagi maaf, kalau selama ini aku ganggu mas!” kata Arni.
                “Nggak ganggu kok, kamu boleh jatuh cinta dengan siapa saja! Maaf, saya gak bisa nerima cinta kamu, dek! Kita berteman saja!” kata DIka lalu tersenyum.
                “Iya mas.” Kata Arni kemudian tersenyum lalu bersalaman dengan Dika.
                4 bulan berlalu, Annisa selesai PKL dan pulang ke Jogja. Dika duduk manis di sebuah bangku di terminal Giwangan menunggu bus yang ditumpangi Annisa tiba. Setelah menunggu lama, akhirnya bus yang ditumpangi Annisa tiba dan turunlah Annisa dari bus itu sambil membawa barang bawaannya dan langsung memhampiri Dika,
                “Kenapa? Kok diam aja?” Tanya Annisa sambil tersenyum.
                “Annisa, kamu tambah cantik aja.” Jawab Dika lalu tersenyum.
                “Iya po? Duh, jadi malu aku.” Kata Annisa.
                “Beneran kok, Annisa sayang.” Kata Dika.
                “Ah, bisa aja! Gak ada apa-apakan selama aku pergi?” Tanya Annisa.
                “Ya, cuma ada sedikit masalah.” Kata Dika dengan suara semakin merendah.
                “Ada apa? Cerita aja gak apa-apa!” kata Annisa
                “Ada adik kelas jatuh cinta denganku.” Kata Dika dengan suara rendah.
                “Terus?” Tanya Annisa singkat.
                “Aku tolak, Cuma aku ijinin dia temenan saja, karena aku ingin setia denganmu, Annisa Purwandari.” Kata Dika.
                “Aku percaya kamu kok, Andika Wiratama.” Kata Annisa lalu memegang tangan Dika.
                “Makasih atas kepercayaanmu padaku! Yuk, aku antar pulang!” kata Dika mengajak pulang.
                “Sama-sama, yuk! Udah rindu orang tua di rumah aku.” Kata Annisa.
                Akhirnya, rindu yang membara di hati Dika selama 4 bulan terobati oleh pulangnya Annisa dari Surabaya. Meskipun selama 4 bulan itu ada suatu hal yang seolah memaksa Dika untuk berpaling dari Annisa, tapi tetap rasa rindu dan cintanya ia berikan kepada Annisa walau mereka berdua terpisah oleh jarak.
                Setialah dengan orang yang kamu sayangi, walau pun mereka sedang jauh dari darimu.


Minggu, 28 April 2013

Artikel : Makna Jari-Jari Tangan Kita


MAKNA JARI-JARI TANGAN KITA



            Sebuah tangan adalah salah satu nikmat Tuhan yang diberikan kepada setiap insan. Di setiap tangan yang normal memiliki 5 jari yang membantu kita dalam menggenggam. Menurut saya, kelima jari kita memiliki suatu makna yang berhubungan dengan kehidupan kita dan juga fenomena yang terjadi di sekitar kita. Namun ini bukanlah sebuah tahayul yang saya buat-buat, karena saya tidak suka bertahayul, tapi ini saya buat hanya untuk sekedar sharing saja.
            Menurut pendapat saya, di tiap jari tangan kita, terdapat suatu makna yang dapat saling bertautan satu sama lain. Dan makna-makna tersebut adalah sebagai berikut :
~ Jempol / Ibu Jari : memiliki makna rasa hormat. Sesuai dengan namanya yaitu ibu jari yang terdapat kata ibu, orang tua kita terdiri dari ayah dan ibu yang keduanya harus kita hormati. Selain itu, dengan ibu jari kita sering memberi penghargaan atas hasil karya orang lain berupa acungan jempol.
~ Jari Telunjuk : mungkin jari ini memiliki banyak makna, salah satunya memiliki makna suatu keinginan, mengapa demikian? Ingatkah saat Anda sewaktu kecil diajak ibu ke pasar dan melihat serta menginginkan mainan? Pasti Anda akan menunjuk-nunjuk mainan itu dengan jari telunjuk Anda sambil berkata “Bu, aku minta itu!”.
~ Jari Tengah : jari ini merupakan jari yang paling panjang atau lebih tinggi dari jari-jari lain yang terdapat pada tangan kita, seseorang yang merasa paling tinggi ialah orang sombong, sifat sombong adalah salah satu sifat buruk, sehingga saya berpendapat bahwa jari tengah itu memiliki makna sifat buruk. Alasan lain, karena jari tengah yang mengacung itu biasanya berkonotasi negative.
~ Jari Manis : jari ini menurut saya mempunyai makna kasih sayang, karena di jari inilah biasa dipakaikan cincin.
~ Jari Kelingking : memiliki makna suatu ikatan, baik itu ikatan persahabatan, cinta, atau pun saudara.

            Itulah makna di tiap-tiap jari tangan manusia menurut saya. Apabila Anda ingin menambahkan atau mengoreksi, dipersilahkan! J

MAKNA LAIN DARI JARI-JARI TANGAN KITA

            Dari makna-makna di tiap jari tangan kita di atas, dapat saling bertautan membentuk suatu fenomena yang sering terjadi di sekitar kita.
            Coba perhatikan jari telunjuk, tengah, dan manis Anda! Mereka letaknya saling berdampingan, mengandung beberapa makna yaitu :
  1. Jari telunjuk yang berdamping dengan jari tengah mengandung makna bahwa kita bisa saja menggunakan cara yang tidak halal untuk meraih apa yang kita inginkan seperti mencuri dan merampok. Sedangkan jari telunjuk dengan ibu jari, mengandung makna bahwa bila kita menginginkan suatu dengan cara yang tidak baik dapat pula berimbas kepada orang-orang yang seharusnya kita hormati, contohnya : seorang anak yang menginginkan sepeda motor dan meminta kepada ayahnya supaya membelikannya sepeda motor namun ayahnya berkata belum bisa pada anaknya karena alasan belum ada uang yang cukup, anak itu menjadi marah kepada ayahnya bahkan mengancam ayahnya sendiri.
  2. Jari tengah yang berdamping dengan jari manis mengandung arti bahwa rasa cinta atau suka bisa saja ditujukan kepada hal-hal buruk, contoh : orang yang suka mengkonsumsi miras dan narkoba. Sedangkan jari manis dengan jari kelingking mengandung makna bahwa kecintaan kita pada hal-hal buruk dapat berdampak pada ikatan persahabatan atau pun cinta, contohnya : seorang pecandu narkoba yang mempengaruhi kawan dekatnya untuk mencicipi narkoba atau dijauhi oleh kawan dekatnya karena takut diajak memakai narkoba.

            Selain itu kita dapat menemukan makna lain yang saling bertautan dengan cara membuka telapak tangan kita selebar-lebarnya kemudian menekuk jari tengah kita dan perhatikanlah!
            Jari manis dan jari telunjuk kita condong seolah ingin menekuk seperti jari tengah yang telah kita tekuk, namun lebih condong jari manis kita. Dari peristiwa tersebut dapat kita petik makna bahwa sebuah keinginan terkadang memunculkan suatu tindakan buruk apabila orang yang memiliki keinginan itu mempunyai pikiran yang pendek sehingga menghalalkan segala cara, seperti ingin cepat kaya tapi dengan cara korupsi. Serta suatu rasa cinta kadang menjerumuskan kita pada suatu hal yang buruk, dapat kita ambil contoh dari banyaknya kasus remaja putri yang hamil diluar nikah karena cara berpacaran yang kebablasan.


 MENGAPA CINCIN ITU SERING DIPASANGKAN DI JARI MANIS?

            Seorang teman saya menjelaskan hal tersebut melalui sebuah permainan tangan sederhana. Bagaimanakah permainan tersebut? Berikut penjelasannya :
  1. Sentuhkan tiap ujung jari pada tangan kanan dengan tangan kiri (jempol dengan jempol, telunjuk dengan telunjuk, dst).
  2. Tekuk kedua jari tengah ke bawah.
  1. Cobalah Anda pisahkan keempat jari yang telah bersentuhan ujungnya dan coba rasakan apakah kedua jari manis Anda yang telah bersentuhan ujungnya dapat dipisahkan?

            Dari permainan tersebut dapat dijelaskan maknanya, yaitu :
  1. Mengapa jari tengah ditekuk? Karena seperti penjelasan di awal bahwa jari tengah yang mengacung biasanya berkonotasi negatif.
  2. Ibu Jari dapat lepas dari persentuhan, mempunyai makna bahwa kita dapat terpisah dari orang tua kita atau orang yang sangat kita hormati.
  3. Jari Telunjuk dapat lepas dari persentuhan, mempunyai makna bahwa kita bisa saja tidak atau belum dapat mewujudkan keinginan kita.
  4. Jari Kelingking dapat lepas dari persentuhan, mempunyai makna bahwa kita dapat terpisah dari orang yang memiliki ikatan persahabatan, cinta, atau saudara.
  5. Jari Manis tidak dapat lepas dari persentuhan, mempunyai makna bahwa rasa cinta atau kasih sayang tidak akan pernah lepas dari diri kita.
      Jadi, karena bermakna kasih sayang itulah, sebuah cincin tanda cinta selalu dipasangkan di jari manis kita.
            Dan dari permainan tersebut dapat disimpulkan bahwa kita dapat terpisah dari orang-orang yang ada dalam kehidupan kita dan mengalami kegagalan dalam meraih keinginan kita. Tetapi rasa kasih sayang akan selalu ada dalam diri kita. Asalkan tidak ada suatu sifat buruk yang dapat mengurangi atau menghapus rasa kasih sayang itu.

            Sekali lagi, artikel yang saya buat ini hanya untuk sekedar menyalurkan pemikiran dan ini bukanlah sebuah tahayul. Semoga dapat bermanfaat bagi Anda, terima kasih!  

Minggu, 24 Maret 2013

Kaulah Dewiku


 KAULAH DEWIKU



            Andi mengendarai motornya dengan agak terburu-buru, “Pulsa malah habis dan harus ke konter beli pulsa, lagi mau nanyain tugas juga, huh.”, kata Andi dengan raut wajah agak kesal.
            Sesampainya di depan konter ia mengambil dompet di saku celana kanannya, sembari berjalan menuju ke konter tanpa sengaja ia bertabrakan dengan seorang perempuan berambut lurus panjang hingga hapenya terjatuh, “Ups, maaf, mbak, aku gak sengaja, aku ambilin ya.”, kata Andi kemudian akan mengambil hape perempuan tersebut, “Gak papa, mas, biar saya saja yang ambil.”, kata perempuan itu sambil akan mengambil hapenya. Tanpa disengaja, tangan mereka bersentuhan dan mata mereka saling bertatapan. Laki-laki penjaga konter berkaca mata itu cuma bisa tersenyum sambil menggelengkan kepalanya melihat kejadian tersebut. Andi lalu tersadar dan kemudian menarik tangannya yang telah menggenggam hape perempuan tersebut lalu dengan cepat berkata, “Aduh, sekali lagi maaf, mbak, udah ngejatuhin hape mbak, ini hapenya.” Andi mengembalikan hape itu kepada si perempuan dan perempuan itu berkata, “Oh, gak kenapa-kenapa kok, mas, cuma hape jelek, udah biasa jatuh, maaf juga udah megang tangan kamu.”  Lalu Andi berkata lagi sambil senyum dan menatap wajah si perempuan yang mulai tampak malu, “Oh, gak kenapa-kenapa juga kok, mbak”. Wajah perempuan itu semakin malu dan kemudian ia berlalu meninggalkan Andi di konter itu.
            Andi menjadi penasaran dengan perempuan yang ia temui di konter, sehingga ia menjadi kepikiran dengannya dan ia ingin menemuinya lagi. Seminggu kemudian, di konter yang sama Andi melihat perempuan itu lagi dan segera mendatangi dan menyapanya,
            “Hai, kamu masih ingat saya?”
            “Hai juga, siapa ya?” kata perempuan itu sambil menunjuk Andi.
            “Saya yang ngejatuhin hape kamu seminggu yang lalu.” jawab Andi.
            “Oh, iya aku ingat, maaf waktu itu aku langsung ninggalin kamu, aku malu soalnya.” kata perempuan itu.
            “Gak papa kok, oh iya, kenalin aku Andi, Andi Suprapto, nama kamu siapa?” kata Andi sambil mengulurkan tangannya.
            “Aku Dewi, Dewi Anggraeni, salam kenal ya!” kata perempuan yang bernama Dewi itu sambil menjabat tangan Andi.
            “Salam kenal juga!” kata Andi.
            “Udah ya, aku mau pulang dulu.” kata Dewi kemudian hendak meninggalkan Andi.
            “Yaah, tapi aku masih pengen ngobrol sama kamu.” kata Andi.
            “Yaudah, mana hape kamu, kita nanti telponan sehabis belajar” kata Dewi sambil menengadahkan tangannya.
            “Telponan? Oke deh, ini hape aku.” kata Andi sambil memberikan hapenya ke Dewi.
            “Ini, disimpan ya! Aku pulang dulu.” kata Dewi sambil mengembalikan hape Andi kemudian berlalu meninggalkan Andi.
            Malam harinya setelah belajar, dengan semangat Andi mengambil hapenya dan segera menelepon Dewi, sementara itu di rumah Dewi, hape Dewi berbunyi dan ia pun segera menjawabnya,
            “Assalamualaikum.”
            “Waalaikumsalam, ini Dewi?”
            “Iya, ini Andi, kan?”
            “Iya bener, udah selesai belajarnya?”
            “Udah kok, kamu?”
            “Udah juga, eh, rumahmu dimana?”
            “Di atas tanah, di bawah langit, hehe.”
            “Haduh.”
            “Bercanda lho, sama kayak kamu, dusun Wonoarjo, gak jauh kok dari rumah kamu.”
            “Lho, gak jauh dari rumah aku? Kamu yang menghuni rumah baru itu, kah?”
            “Iya, aku baru seminggu disini, aku baru saja pindah dari Jakarta
            “Tapi kok kamu bisa tau rumah aku?”
            “Kan kamu anaknya kepala dusun sini, aku tadi tanya sama bapakku.”
            “Oh, disini mau sekolah dimana?”
            “SMA 2, kamu sekolah dimana?”
            “Yaah, kita gak satu sekolah dong, aku di SMA 1”
            “Kan aku bisa bareng kamu kalo berangkat sekolah, aku sama kamu sama-sama kelas 11 lho.”
            “Dari mana kamu tau kalo aku kelas 11?”
            “Dari bapakku juga, bapakmu kan temen kecilnya bapakku, jadi mereka udah akrab dong.”
            “Lha, baru tau aku, hehehe.”
            “Hehehe, aku juga, udah dulu yuk, udah malam, waktunya tidur, assalamualaikum.”
            “Waalaikumsalam.”
            Sejak saat itu, Andi dan Dewi semakin akrab. Tiap berangkat dan pulang sekolah, mereka selalu bersama. Kadang pula, Andi mengajak Dewi makan-makan.
            Sejak awal bertemu dengan Dewi, Andi sudah memiliki rasa cinta terhadap Dewi namun hanya bisa ia pendam dalam hatinya. Hingga pada suatu minggu pagi yang cerah dan sejuk, Andi mengajak Dewi ke bukit untuk melihat pemandangan dari atas bukit itu dan juga ingin menyatakan perasaannya kepada Dewi. Setibanya di atas bukit, Dewi langsung takjub melihat sebuah pemandangan hijaunya bukit yang berselimut kabut yang belum pernah ia lihat sebelumnya,
            “Wah, indah sekali, Andi.”
            “Belum pernah melihat, kan, pemandangan indah seperti ini?”
            “Iya, di Jakarta gak ada yang seperti ini, indah banget”
            “Seindah wajah kamu, Dewi.”
            “Ah, nggombal kamu, tapi kok wajahmu kok kelihatan cemas gitu?” kata Dewi sambil menepuk pundak Andi.
            “Gak kenapa-kenapa, Dewi.” kata Andi lalu berusaha tersenyum.
            “Kamu pasti lagi kenapa-kenapa, cerita saja! siapa tau aku bisa bantu.”
            “Sebenernya…” kata Andi agak ragu lalu memegang tangan Dewi.
            “Apa, Andi? Kamu kok jadi pegang tangan aku?” kata Dewi sambil melihat kedua tangannya yang dipegang Andi.
            “Kamu itu cantik, baik, dan tutur kata lemah lembut.” kata Andi.
            “Iyakah? Makasih, tapi kok kamu menatapku seperti itu? Aku jadi malu.” kata Dewi dengan pipi memerah.
            “Iya, membuatku jatuh cinta, aku sayang kamu, Dewi.” kata Andi.
            “Kamu cinta aku, Andi? Kamu serius apa bercanda sih?” kata Dewi kurang percaya.
            “Aku serius, Dewi.” kata Andi sambil terus menatap.
            “Lalu aku harus bilang apa?” kata Dewi bingung.
            “Terima aku atau tolak aku, semua terserah padamu.” kata Andi sambil memegang tangan Dewi lebih erat lagi.
            “Belum pernah aku merasakan momen seperti ini, Andi.” kata Dewi yang mulai meneteskan air mata.
             “Iyakah? Tapi kenapa kamu menangis?” kata Andi.
             “Aku nggak nangis kok, aku cuma seneng aja, kamu tampan, baik, dan tutur kata kamu lemah lembut juga, aku ingin mengatakan sesuatu.” kata Dewi sambil melepas genggaman Andi dan kemudian memegang kedua pipi Andi.
            “Katakan saja, Dewi!” kata Andi.
            “Aku juga sayang kamu, Andi, dari lubuk hatiku yang paling dalam.” kata Dewi.
            “Kau serius?” kata Andi.
            “Iya, Andi, mulai detik ini kita pacaran.” kata Dewi kemudian memeluk tubuh Andi dan Andi pun merasa bahagia karena cintanya diterima oleh Dewi yang ia jadikan pujaan hatinya selama ini.
            Suatu hari, dusun Wonoarjo mengadakan acara jalan santai. Andi dan Dewi berjalan bersama dengan mesranya dan sesekali berfoto dengan kamera hapenya mereka punya. Sementara itu, kedua ayah mereka berjalan berdampingan di belakang mereka sambil mengamati anak-anak mereka tersebut,
            “Pak Wanto.” kata ayah Andi.
            “Ada apa, Pak Suprapto?” kata ayah Dewi.
            “Sepertinya nanti kita akan berbesan, pak.” kata ayah Andi.
            “Hahaha, iya pak, Andi dan Dewi memang sepertinya cocok sekali.” kata ayah Dewi.
            “Bukan sepertinya lagi, tapi memang cocok, anak saya yang tampan itu memang pantas untuk anak Anda yang cantik seperti istri Anda itu.” kata ayah Andi.
            “Memang rencananya, kalau sudah waktunya, saya ingin Dewi menikah dengan Andi, saya tau Andi itu orangnya berpribadi yang baik, santun pula seperti bapaknya.” kata ayah Dewi.
            “Bisa aja Pak Wanto ini, ya saya sangat setuju kalau mereka nanti menikah, tapi sekarang biarkan mereka berpacaran dulu, menikmati masa remaja mereka.”
            Andi begitu setia menyayangi Dewi, begitu pula sebaliknya. Mereka berusaha menjaga cinta mereka sampai kapan pun.
            Beberapa tahun kemudian, setelah Andi dan Dewi memiliki pekerjaan yang layak. Kedua orang tua Andi dan Dewi menikahkan mereka berdua dan lengkaplah sudah kebahagiaan mereka setelah lahir anak mereka yang diberi nama Syifa Andewi Suprapto. Dan pastinya mereka membangun keluarga yang sakinah, mawadah, dan warohmah.

By : Trian Anugrah
  

Tenda Biru


TENDA BIRU


            Benita adalah seorang gadis cantik yang tipenya setia tapi mudah sekali marah. Dia mempunyai pacar bernama Cakra yang dia adalah seorang pengusaha yang mempunyai sebuah perusahaan besar di luar kota.
            Suatu hari, Benita sedang duduk santai sambil menonton televisi dan tiba-tiba hapenya berbunyi karena pacarnya meneleponnya, dia pun dengan penuh semangat mengangkat telepon dari pacar tercintanya itu,
            “Hallo, sayang?” kata Benita dengan nada ceria.
            “Hallo juga, sayang, aku pulang loh…”, kata Cakra.
            “Yang bener sayang?” Tanya Benita yang kurang percaya.
            “Iya benerlah, ke rumahku ya nanti, soalnya…”
            “Kangen ya, oke deh, aku ke rumah kamu” kata Benita memotong perkataan Cakra.
            “Tapi sayang, aku belum….”
            “Belum apa?, belum mandi, kan?, ya udah mandi dulu sana!, aku siap-siap dulu, dah…” kata Benita yang kemudian menutup telepon.
            Benita kemudian masuk ke kamarnya, lalu ia berdandan yang cantik dengan penuh semangat dan rasa senang, sementara ia berdandan hapenya terus berbunyi berkali-kali karena pacarnya terus mencoba menelepon, setelah ia selesai berdandan ia pun mengangkat telepon dari pacarnya itu,
            “Sayang, aku belum selesai…”
            “Belum selesai mandi, udah selesaiin dulu!, aku lagi mau OTW ke rumah kamu, dah…” kata Benita memotong pembicaraan dan kemudian menutup teleponnya.
            Benita pun menuju rumah Cakra dengan mengendarai motor matiknya. Begitu sampai di rumah Cakra ia bingung melihat orang-orang yang berdandan serba rapi seperti mau kondangan mendatangi rumah Cakra, ia kaget melihat tenda berwarna biru yang berdiri kokoh di depan rumah Cakra, ia teringat akan lagu ‘Tenda Biru’ yang dipopulerkan oleh Dessy Ratnasari yang lagu mengisahkan tentang seorang perempuan yang ditinggal oleh kekasihnya menikah dengan perempuan lain tanpa memberitahu perempuan tersebut, oleh karena itu Benita mengira kalau Cakra akan menikah dengan perempuan lain. Dalam sekejap, Benita yang tadinya ceria berubah menjadi sangat marah dan berjalan menuju arah Cakra yang sedang ‘among tamu’ dan langsung menampar Cakra di hadapan orang-orang yang sedang kondangan,
            “Pengkhianat…., kamu udah gak setia sama aku?, tega banget kamu ninggalin aku dan nikah sama cewek lain” kata Benita sambil marah-marah.
            “Aku itu nggak….”
            “Nggak apa?, nggak setia lagi sama aku?, iya kan?” kata Benita memotong kata Cakra yang berusaha menenangkan Benita.
            “Sayang, …”
            “Gak usah panggil sayang lagi!, dasar…” kata Benita memotong.
            “Siapa yang mau nikah, ini bukan pesta kawinan, ini pesta sunatan adikku” kata Cakra yang memotong perkataan Benita dengan nada yang lebih tinggi sehingga membuat Benita menjadi tercengang.
            Cakra lalu menarik Benita masuk, melewati meja prasmanan, dan masuk ke sebuah kamar yang terdapat adiknya Cakra yang terlihat baru saja disunat sedang ditunggui oleh neneknya,
            “Hihihi, adik kamu sunatan to?” kata Benita dengan wajah yang berubah menjadi malu.
            “Iya, emang kenapa?”, kata Cakra dengan nada kesal.
            “Kenapa gak bilang, sih?”, Tanya Benita.
            “Aku tadi udah nelpon kamu berkali-kali buat ngasih tau kalo adikku sunatan, tapi kamu malah motang-motong mulu”, jawab Cakra dengan nada lebih kesal.
            Cakra lalu menarik Benita ke depan rumahnya,
            “Kamu udah bikin aku malu di depan tamu undangan, mulai sekarang kita putus, LOE GUE END!!!”, kata Cakra.
            “Jangan!, jangan!, kok putus sih?” kata Benita sambil berlutut kepada Cakra.
            “Habis kamu dah bikin malu, sekarang pergi dari sini”, kata Cakra sambil mengacung jarinya ke arah jalan depan rumah.
            Benita mulai menangis tersedu-sedu dan berlari menuju motornya dan akhirnya Benita pulang dengan rasa sesalnya.   

By : Trian Anugrah