SAHABAT TAK TERLUPAKAN
Suara
azan subuh dan suara kokok ayam membangunkan Nita. Dengan kondisi yang masih
mengantuk, ia berjalan pelan menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu.
Setelah itu, ia berjalan menuju kembali ke kamarnya. Diambilnya mukena dan
sajadah yang terlipat rapi di dalam almari kamarnya dan segera ia mengenakan
mukena tersebut dan menggelar sajadah menghadap kiblat. Kemudian, Nita
menunaikan ibadah sholat subuh yang didahului dengan mengerjakan sholat sunah
qobliyah subuh yang pahalanya lebih baik daripada dunia dan seisinya.
Selesai
sholat subuh, Nita menuju ke dapur mengambil nasi dan lauk-pauk untuk sarapan
pagi. Lalu ia menuju ruang tamunya dan menyalakan televisi. Nita menikmati
sarapan paginya sambil menonton acara berita pagi pada salah satu stasiun
televisi.
Saat
acara berita tersebut memberitakan tentang seorang pelajar SMA bernama Anindya
Kusumawati yang berhasil meraih juara 1 olimpiade matematika tingkat nasional,
Nita berhenti menyantap sarapan paginya sejenak dan langsung terfokus pada
berita yang sedang diberitakan dan betapa kagetnya ia bahwa yang sedang
diberitakan adalah teman sekelas sewaktu masih duduk di bangku SD dulu.
Setelah
berita itu usai, Nita melanjutkan santap paginya. Setelah selesai sarapan, Nita
tiduran sejenak di kursi panjang sofa ruang tamunya sambil mengingat masa-masa
di SD dulu, saat masih dekat dengan Anindya. Nita dan Anindya sudah akrab sejak
masih TK dan persahabatan mereka masih terus berlanjut di bangku SD. Mereka
sering belajar bersama tiap usai pulang sekolah dan juga sering bermain
sekolah. Anindya memang murid paling pintar di kelas saat itu, ia selalu meraih
rangking 1, sedangkan Nita hanya dapat meraih rangking 2. Namun, kondisi
ekonomi keluarga Nita lebih baik daripada kondisi ekonomi keluarga Anindya.
Ayah Nita adalah seorang guru olahraga sedangkan ibunya adalah ibu rumah
tangga, sedang kedua orang tua Anindya hanyalah seorang buruh tani. Walaupun
demikian, Anindya tetap memiliki semangat belajar yang tinggi.
Namun,
ayah Nita dimutasi ke kota Jakarta saat Nita lulus SD, sehingga Nita dan
keluarganya harus pindah ke Jakarta. Masih teringat dalam pikiran Nita saat ia
datang ke rumah Anindya untuk pamit pindah ke Jakarta. Saat berangkat menuju
Jakarta, Nita menyempatkan diri untuk mendatangi rumah Anindya yang hanya
berdinding rotan. Waktu itu, Anindya sedang duduk di sebuah bangku kayu di
depan rumahnya dan melihat Nita turun dari mobilnya dan berjalan ke rumahnya.
“Anindya!”
sapa Nita sambil berjalan menuju Anindya
“Iya,
ada apa, Nita?” balas Anindya sambil beranjak dari bangku
“Bapak
ibumu kemana?” Tanya Nita
“Masih
di sawah, lagi panen.” Jawab Anindya
“Nin,
maaf aku gak bisa memenuhi janjiku ke kamu kalau kita akan terus bersama sampai
SMA nanti.” Kata Nita sambil mata mulai memerah tanda akan menangis
“Lho,
kenapa, Nit?” Tanya Anindya
“Ayahku
pindah kerja ke Jakarta dan aku sama keluargaku harus pindah ke sana,
meninggalkan kakek nenekku dan juga kamu, maaf ya!” jawab Nita mulai menangis
“Sebenarnya
aku ingin kita bersama sampai SMA, tapi kalau memang kamu harus pindah, tidak
mengapa asal kamu tidak ngelupain aku, Nit!” kata Anindya yang juga mulai
menangis
“Aku
gak bakal ngelupain kamu kok, Nin. Aku gak bakal tega ngelupain sahabatku
sendiri.” Kata Nita
“Makasih
ya, Nit!” kata Anindya
“Sama-sama,
Nin. Oh iya, aku pengen ngasih ini ke kamu, Nin.” Kata Nita sambil mengambil
dua buah kalung bintang dari sakunya
“Apa
ini, Nit?” Tanya Anindya sambil menujuk kalung tersebut
“Ini
kalung persahabatan kita, ku harap kamu memakainya sampai kapan pun dan aku pun
juga.” Kata Nita.
Mereka
berdua saling memakaikan kalung persahabatan itu. Nita memakaikan ke Anindya
dan sebaliknya, Anindya memakaikan ke Nita. Kemudian mereka saling berpelukan
dan tangis perpisahan mereka pecah di depan rumah Anindya.
“Nit,
jaga dirimu baik-baik disana ya! Aku bakal selalu merindukanmu, Nit.” Kata
Anindya sambil menyeka air matanya.
“Jaga
dirimu baik-baik juga disini, Nin! Aku juga bekal selalu merindukanmu. Aku
pamit ya, Nin! Assalamualaikum!” kata Nita pamit kepada Anindya.
“Waalaikumsalam!”
jawab Anindya.
Nita
kemudian berjalan menuju ke mobilnya. Saat akan masuk ke mobil, ia melihat ke
arah Anindya yang masih menangis terdiam melihatnya lalu ia melambaikan tangan
ke Anindya dan Anindya pun membalasnya. Sungguh itu adalah sebuah perpisahan
yang mengharukan dan harus mereka jalani.
Kurang
lebih setengah jam Nita terhanyut dalam ingatannya itu dan ia tersadar saat
ibunya menepuk kakinya, “Nita, malah ngelamun disini, cepet mandi sana keburu
siang!” “Ahhh…. Ibu, ngagetin Nita aja, jam berapa ini, bu?” Tanya Nita pada
ibunya dan ibunya menjawab, “Udah jam 5 lebih seperempat, cepetan mandi! Nanti
terlambat lho.” “Siap bu, laksanakan!” jawab Nita sambil beranjak dari sofa dan
langsung menuju kamar mandi sementara ibunya membereskan piring dan gelas yang
dipakai Nita untuk sarapan.
Hari
itu, Nita sangatlah senang karena ia dapat melihat sahabat di kampungnya yang
telah 5 tahun tidak ia jumpai walaupun hanya terbatas di layar televisi saja.
Dalam hatinya ia merasa bangga punya sahabat yang berprestasi bahkan menjadi
juara olimpiade matematika tingkat nasional. Tetapi dalam hatinya ia
bertanya-tanya apakah Anindya masih ingat dengannya, namun ia tetap yakin kalau
Anindya masih ingat dengannya.
Sore
harinya, Nita menonton acara talk show favoritnya. Kebetulan tamu yang undang
dalam acara saat itu adalah Anindya dan betapa senangnya hati Nita melihat
sahabatnya itu muncul di layar televisinya dengan berhijab. Nita dengan
antusias menyimak tiap-tiap pembicaraan yang dilakukan oleh pembawa acara dan
Anindya.
“Bagaimana
perasaan Anda saat tau bahwa Anda menjadi juara olimpiade matematika tingkat
nasional?” Tanya pembawa acara.
“Yang
pasti senang dan gak nyangka juga, selain senang karena bisa menjadi juara
olimpiade, saya bisa membanggakan kedua orang tua saya, sekolah saya,
teman-teman saya, dan lingkungan sekitar tempat tinggal saya.” Jawab Anindya
dengan wajah yang tampak ceria.
“Apa
yang selalu Anda lakukan supaya dapat meraih kesuksesan luar biasa seperti
ini?” Tanya pembawa acara.
“Hmm…
yang pasti selalu berdoa dan juga berusaha, walaupun ada keterbatasan tapi
jangan jadikan itu penghalang untuk menjadi sukses, dan juga seringlah berbakti
pada orang tua supaya mereka senang dan meridhoi kebaikan untuk saya, karena
ridho orang tua adalah ridho Allah.” Jawab Anindya.
“Siapakah
orang-orang yang selalu memberi dukungan kepada Anda supaya menjadi sukses
seperti ini?” Tanya pembawa acara.
“Yang
pasti ayah dan ibu saya, bapak dan ibu guru di sekolah, sahabat-sahabatku semua
tak terkecuali sahabatku yang sekarang ada di Jakarta dan sudah kurang lebih 5
tahun tidak ketemu, yang dulu sering ngehibur aku kalau aku sedang sedih,
ngasih motivasi juga buat aku, Nita Kusumandari, aku kangen kamu, aku harap
bisa cepet dapat kabar dari kamu.” Kata Anindya dengan mata yang mulai
meneteskan air mata sambil menatap ke arah kamera yang sedang on.
Nita
yang melihat kejadian itu juga ikut menangis. Ia tau jika Anindya pasti akan
selalu mengingatnya. Dalam hatinya, ia ingin sekali pulang kampung agar bisa
bertemu dengan Anindya.
Keesokan
paginya, di hari minggu yang cerah. Ayah Nita sedang sibuk membaca koran di
teras rumah dan ibu Nita keluar membawakan secangkir kopi pagi untuk ayah Nita,
“Ini kopinya, silahkan diminum, pah!” kata ibu Nita sambil meletakkan kopi di
meja samping kursi yang diduduki ayah Nita lalu ibu Nita duduk di kursi sebelah
meja itu, “Iya, mama! Makasih ya! Tambah cantik deh mama.” Kata ayah Nita
sambil mencolek pipi ibu Nita, “Ah, papa bisa aja deh, Nita kemana, pa?” Tanya
ibu Nita, “Biasa, kan minggu pagi biasanya Nita lari pagi keliling komplek
sini.” Jawab ayah Nita.
Tak
lama kemudian, muncul Nita dari balik gerbang rumahnya sambil mengelap
keringatnya menggunakan handuk good morning, “Assalamualaikum, papa mama!” sapa
Nita lalu bersalaman dan mencium tangan kedua orang tuanya itu, “Waalaikumsalam!”
jawab kedua orang tua Nita, “Papa, Nita boleh ngomong sesuatu gak?” Tanya Nita
kepada ayahnya, “Boleh, apa nak?” jawab ayahnya, “Kapan kita pulang kampung,
pa? Udah 5 tahun kita gak pulang kampung, aku udah kangen sama kakek nenek,
kangen Anindya juga.” Kata Nita kepada ayahnya, kemudian ayahnya tersenyum lalu
berkata, “Kebetulan, nak, lebaran tahun ini kita akan pulang kampung, ayah akan
membeli mobil buat mudik besok, ya maafkan ayah ibumu, nak, mobil ayah dulu dijual
untuk membeli rumah ini!” “Tak apa papa, yang penting papa bisa beli mobil
lagi, terus bisa pulang kampung deh.” Kata Nita dengan perasaan senang, “ya
sudah, sarapan dulu sana! Mama udah bikinin kamu nasi goreng.” “Oke mama!”.
Bulan
puasa pun tiba dan menjelang hari raya idul fitri seperti biasa pasti ada musim
mudik. H-2 lebaran, Nita sekeluarga mudik menggunakan mobil baru mereka. Nita
sangatlah senang karena akhirnya ia bisa pulang kampung dan ia tidak sabar
untuk bertemu lagi dengan Anindya. Namun sayangnya dalam perjalanan menuju
Tasikmalaya mereka terkena macet yang cukup parah. Akibatnya, mereka tiba di
Tasikmalaya pada H-1 lebaran pukul 11 malam dan Nita belum dapat bertemu dengan
Anindya. Hanya sebuah suasana bahagia bertemu dengan kakek neneknya dan
mendengar suara takbir yang menghiasi malam hari raya idul fitri yang ia temui
setelah 5 tahun lamanya tidak menjamah kampung halamannya.
Keesokan
paginya, dengan mengenakan pakaian muslim yang serba baru, Nita dan keluarganya
berangkat berjalan kaki menuju masjid bersama dengan warga-warga sekitar untuk
melakukan ibadah sholat idul fitri.
Setibanya
di masjid, Nita melihat-lihat sekeliling berharap ia dapat segera melihat
Anindya. Namun, ia belum dapat menemukannya. Selesai shalat idul fitri, Nita
berusaha mencari Anindya lagi dan akhirnya ia melihat seseorang yang pernah ia
lihat sebelumnya yang ia yakini sebagai Anindya hendak berjalan keluar komplek
masjid lalu ia berjalan agak cepat mendekatinya. Kemudian, Nita menepuk pundak
Anindya dan Anindya pun berbalik menghadapnya, “Anindya Kusumawati?”, “Iya,
saya Anindya, ada apa?”, “Masih ingat aku? Aku Nita, Nita Kusumandari.”, “Nita?
Ya Allah!” Nita dan Anindya langsung berpelukan sambil menangis bahagia karena
akhirnya mereka dapat berjumpa lagi setelah 5 tahun berpisah dan selama itu
mereka tidak pernah saling berkomunikasi. Mereka berdua telah menginjak masa
remaja dan keduanya sama-sama rajin berhijab. Setelah mereka berpelukan, mereka
saling mengucapkan “Minal Aidin Wal Faidzin” dan tak lupa Nita mengucapkan
selamat kepada Anindya karena telah menjuarai olimpiade matematika tingkat
nasional.
Siang
harinya, Nita sekeluarga bersilaturahmi ke rumah Anindya. Mereka saling
bersalam-salaman dan saling memaafkan kepada keluarga Anindya.
Sore
harinya, Anindya mengajak Nita berjalan-jalan menyusuri sawah dekat rumahnya.
Menikmati udara sore dan melihat pemandangan desa yang masih asri. Saat
berjalan-jalan, tiba-tiba Anindya melepas kerudungnya dan memperlihat kalung
bintang yang pernah diberikan Nita kepadanya.
“Kau
masih menyimpannya, Nin?” Tanya Nita.
“Aku
selalu menyimpan dan menggunakannya, inikan kalung persahabatan kita.” Kata
Anindya.
“Aku
juga masih memakainya.” Kata Nita sambil melepas kerudungnya dan memperlihatkan
kalung yang sama kepada Anindya.
“Kalau
aku melihat kalung ini, aku selalu ingat kamu, Nit, pas tadi pagi ketemu di
masjid itu aku pangling, wajah kamu sudah tampak berbeda sedikit, maaf ya!”
kata Anindya.
“Nggak
papa kok, Nin.” Kata Nita sambil tersenyum.
“Walaupun
kita terpisah, tapi kita tetap bersahabat, saling menyayangi, dan saling
merindukan, sampai kapan pun, oke, Nita Kusumandari!” kata Anindya.
“Oke,
Anindya Kusumawati!” kata Nita.
Mereka kemudian
saling menautkan jari kelingking mereka sebagai tanda persahabatan dan mereka
berjanji akan selalu menjaga ikatan persahabatan mereka sampai kapan pun.
Mereka saling bertukar nomor telepon agar tetap bisa saling berkomunikasi.
5 hari sudah
Nita berada di kampung halamannya untuk merayakan lebaran sekaligus melepas
rasa rindu dengan Anindya dan saatnya Nita harus pulang ke Jakarta. Saat mobil melewati depan rumah Anindya, Nita
turun dan langsung menuju rumah Anindya untuk pamit. Nita dan Anindya saling
berpelukan dan meneteskan air mata.
“Nin, aku pamit
pulang ke Jakarta, maaf kalau aku disini
cuma sebentar!” kata Nita.
“Gak papa, Nit,
walaupun cuma sebentar, aku senang kok, yang penting aku bisa bertemu kamu
lagi.” Kata Anindya.
“Makasih ya! Aku
pamit, Nin, jaga dirimu baik-baik disini ya!” kata Nita
“Iya, Nit, kamu
hati-hati di jalan ya! Salam buat teman-temanmu di Jakarta!” kata Anindya.
“Oke, Nin,
Assalamualaikum!”
“Walaikumsalam!”
Nita kemudian
berjalan kembali ke mobilnya dan sebelum ia masuk mobil, ia melambaikan tangan
kepada Anindya dan Anindya pun membalasnya dengan lambaian tangan pula. Sama
seperti saat mereka berpisah 5 tahun lalu. Nita masuk ke mobilnya dan mobil itu
kemudian berlalu meninggalkan rumah Anindya menuju kota Jakarta.
Meskipun hanya
sebentar, tapi Nita sangat bersyukur diberi kesempatan untuk bertemu dengan
Anindya, sahabatnya sejak kecil. Karena sudah saling bertukar nomor telepon,
mereka dapat saling melepas rasa rindu
dengan SMS-an atau teleponan.
Inilah
persahabatan, sahabat sejati akan selalu ada untukmu sampai akhir hayatmu,
meskipun jarak memisahkan.